Selasa, 08 November 2011

TEKNOLOGI BENIH

Dalam uji pekecambahan secara langsung perlu disediakan kondisi yang serba menguntungkan bagi perkecambahan benih.  Kelembaban yang cukup, temperatur yang cocok, aerasi dan dalam beberapa hal dibutuhkan cahaya.  Penting juga untuk menentukan apakah kecambah yang dihasilkan normal atau tidak.  Kepastian apakah suatu kecambah itu normal atau tidak tergantung pada pengamatan yang teliti terhadap sistem akar dan tunas.  Walaupun semua kondisi diatur sedemikian rupa, umumnya pelaksanaan uji perkecambahan berlangsung selama beberapa hari atau minggu.  Bahkan untuk beberapa jenis benih rumput-rumputan dan pohon-pohonan dapat memakan waktu yang lebih lama lagi.  Sehingga kesimpulan dari suatu uji perkecambahan secara langsung tidak dapat segera diketahui.


Semua kekurangan-kekurangan tersebut dapat diatasi apabila viabilitas benih dapat diukur dengan suatu penduga biokimia dari aktifitas metabolisme benih.  Salah satu bahan kimia pertama yang dipergunakan untuk maksud ini adalah Tellurium.  Hanya sayang reaksi pewarnaan yang dihasilkan pada sel kurang memuaskan.  Penggunaan garam Selenium (NaHSeO3) ternyata cukup sukses, bahan ini menghasilkan pewarnaan pada sel dari tidak berwarna sampai merah tua, sehingga memudahkan analisa.  Keberatannya adalah bahan ini terlalu beracun.  Kemudian oleh Profesor Lakon (1949) ditemukan garam Tetrazolium yang dapat menghasilkan pewarnaan yang jelas pada sel serta tidak beracun.  Cara kerja yang dikembangkan itu dinamakan “metode pewarnaan topografis”.  Pada kongres ISTA di Dublin tahun 1953 ditetapkan bahwa uji tetrazolium sebagai satu-satunya cara untuk menentukan viabilitas dari jenis benih pohon-pohonan tertentu yang dorman dan sangat lambat perkecambahanannya.

Di dalam suatu uji biokimia tanda terjadinya proses reduksi dalam sel hidup dihasilkan oleh reduksi dari suatu indikator.  Garam tetrazolium merupakan bahan yang tidak berwarna, di dalam jaringan-jaringan sel hidup zat ini ikut serta dalam proses reduksi.  Dengan proses hidrogenasi dari 2, 3, 5, triphenyl tetrazolium chloride atau bromida, dalam sel-sel yang hidup terbentuklah triphenyl formazan yang berwarna merah, stabil dan bersifat tidak difus.  Dan memungkinkan untuk dapat membedakan bagian sel yang hidup yang berwarna merah dari bagian sel mati yang tidak berwarna.  Dari posisi dan ukuran daerah yang berwarna dan tidak berwarna pada embrio dan atau endosperm dapat ditentukan apakah benih tersebut digolongkan sebagai benih viabel atau non viabel.

Uji tetrazolium hanya pada keadaan tertentu saja dapat dipandang sebagai pengganti dari uji perkecambahan  secara langsung untuk mengukur viabilitas benih.

Beberapa kelebihan dan kekurangan dari uji tetrazolium:
Jika diperlukan keterangan segera tentang viabilitas dari suatu kelompok benih tertentu, maka uji tetrazolium akan dapat memberikan keterangan lebih cepat 1 – 2 hari daripada uji perkecambahan secara langsung.  Tetapi untuk pelaksanaan uji tetrazolium diperlukan waktu yang lebih lama daripada uji perkecambahan secara langsung.

Untuk benih-benih yang sangat dorman dan lambat berkecambah lebih menguntungkan bila digunakan uji tetrazolium.
Kadangkala suatu kelompok benih gagal berkecambah atau mungkin berkecambah lebih lambat dari biasanya disebabkan oleh tipe dormansi “after ripening”.  Untuk menentukan viabilitas benih tersebut secara cepat dapat digunakan uji tetrazolium.  Hal ini akan memungkinkan seorang analis mengadakan pengujian kembali untuk perkecambahan dengan menggunakan metoda pemecahan dormansi terlebih dahulu.  Tetapi jika uji tetrazolium digunakan langsung pada benih dorman, maka akan diperoleh hasil lengkap tentang viabilitas benih tersebut tanpa mengetahui adanya pengaruh dormansi.

Efek phytotoxic dari fungisida, insektisida atau fumigasi dengan methyl bromide yang telah diperlakukan pada benih tidak dapat diketahui dengan uji tetrazolium.
Uji tetrazolium tidak selalu dapat memberikan keterangan tentang kerusakan pada benih yang diakibatkan proses pengeringan.

Uji tetrazolium memerlukan lebih banyak kecakapan dan keputusan daripada yang biasa diperlukan dalam uji perkecambahan secara langsung.  Seringkali diperlukan beberapa kali pembesaran untuk dapat mempelajari dengan seksama pola noda dan lokasi daerah nekrotik yang tidak ternoda.

ISTA telah membuat metoda pelaksanaan yang tepat dari uji tetrazolium untuk benih pohon-pohonan tertentu.  Sedangkan untuk spesies-spesies lain penggunaan uji tetrazolium tergantung pada keputusan si pelaksana sendiri.

Dua buku pegangan yang sangat berguna diterbitkan oleh Association of Official Seed Analyst of North America.
Pada dasarnya uji tetrazolium dilaksanakan dalam 3 tahap.
Tahap1 è pengaktifan enzim dan atau reaksi hidrogenasi dengan penyerapan air.
Tahap 2 è Persiapan benih untuk membiarkan daerah embrionik mudah dimasuki oleh larutan tetrazolium pada proses imbibisi selanjutnya.
Tahap 3 è evaluasi benih.

Pada tahap 1 biasanya diperlukan waktu hampir 16 jam.  Benih-benih yang kecil dibiarkan mengambang di permukaan air, sedangkan benih-benih yang lebih besar dibiarkan berimbibisi di antara lembaran-lembaran kertas yang lembab. Benih perlu dibiarkan sampai mencapai tahap dimana radikel muncul, karena akan lebih sulit untuk menentukan kondisi dari radikel.  Jika benih-benih tertentu berkecambah lebih cepat pada temperatur optimum, maka perlu meletakkan benih tersebut pada temperatur yang lebih rendah selama 16 jam.  Biasanya benih diletakkan kontak dengan air sekitat pukul 4 sore hari selama 16 jam dan dilanjutkan ke tahap 2 pada sekitar pukul 8 pagi hari selama 8 jam berikutnya.

Ada berbagai metoda dimana tahap 2 dapat dilaksanakan, dengan maksud untuk membuka daerah embrionik terhadap larutan tetrazolium.  Pada benih graminae yang lebih besar benih dapat dibelah 2 memanjang melalui embrio atau secara tepat dan teliti memisahkan embrio dan scutellum bersama sebagian kecil dari endospem dan diletakkan dalam larutan tetrazolium.  Pada jenis-jenis graminae yang bebiji kecil, bagian atas benih di atas embrio dapat dipotong atau secara hati-hati caryopsis ditusuk di atas embrio kemudian benih diletakkan dalam larutan tetrazolium.  Pada jenis-jenis benih lainnya serpeti benih-benih dari famili Cucurbitaceae dan Malvaceae, baik kulit biji dan perisperm harus disingkirkan untuk membiarkan larutan tetrazolium mencapai embrio.  Setelah kulit biji disingkirkan, perlu sekali untuk meletakkan benih kembali ke dalam air selama beberapa waktu sampai perisperm dapat dengan mudah diambil, sebelum benih diletakkan dalam larutan tetrazolium.  Bagi benih-benih dari Leguminosae dapat diletakkan langsung dalam larutan tetrazolium setelah tahap 1, tanpa perlakuan lebih lanjut.

Kecepatan reaksi dari reduksi larutan tetrazolium yang tak bewarna menjadi formazan yang stabil dan tidak difus tergantung pada temperatur dan jenis benih.  Makin tinggi temperatur hingga lebih dari 40 oC, makin cepat waktu reaksi.  Temperatur yang dipakai dapat tergantung pada waktu yang tersedia untuk melaksanakan uji tersebut.  Pada temperatur 40 oC, waktu reaksi antara 1 – 4 jam, tetapi jika tidak hati-hati maka intensitas warna akan sedemikian besar, sehingga menyulitkan evaluasi uji secara tepat.  Sehingga lebih aman untuk membiarkan reaksi berjalan lebih lambat pada temperatur yang lebih rendah.kekuatan larutan yang dipakai dapat bervariasi antara 0,1 – 1,0 %.  Konsentrasi yang umum dipakai adalah 1,0 %, tetapi biasanya 0,5 % sudah cukup memuaskan.

Tahap 3 merupakan bagian tersulit dari uji tetrazolium.  Diperlukan pengetahuan yang baik tentang morfologi benih dan jaringan embrionik untuk memungkinkan menentukan bagian-bagian apa saja yang penting dari embrio yang harus berwarna untuk menunjukkan bahwa benih yang dianalisa adalah viabel.  Dan jika dikecambahkan akan menghasilkan suatu kecambah normal.  Tipe noda, kedalaman warna dan kondisi dari jaringan yang ternoda dapat dipertimbangkan untuk menunjukkan status viabilitas dari benih.

Benih yang memperlihatkan bagian-bagian yang berwarna ungu tua yang lebih lunak daripada jaringan sekitarnya, kemungkinan besar disebabkan oleh kerusakan akibat penekanan/ mekanis.
Noda yang tidak seragam menunjukkan kerusakan yang disebabkan oleh pengaruh kelambaban pada saat panen.

Tanda-tanda tersebut terutama penting untuk benih Leguminosae serpeti kedelai dan kacang hijau, dan merupakan petunjuk viabilitas yang rendah.
Noda ringan yang seringkali tampak di permukaan endosperm pada benih padi-padian dan rumput-rumputan disebabkan oleh reduksi garam tetrazolium pada sel-sel lapisan aleuron dari benih.  Terlihatnya pewarnaan ini dipandang sebagai petnujuk bahwa benih tersebut vigorous.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar