Selasa, 08 November 2011

Pentingnya Pengendalian Hayati

Peningkatan kapasitas dan produktivitas pertanian

Sejauh ini kerugian yang dialami sektor pertanian Indonesia akibat serangan hama dan penyakit mencapai miliaran rupiah dan menurunkan produktivitas pertanian sampai 20 persen.Menghadapi seriusnya kendala tersebut, sebagian besar petani Indonesia menggunakan pestisida kimiawi. Upaya tersebut memberikan hasil yang cepat dan efektif. Kenyataan ini menyebabkan tingkat kepercayaan petani terhadap keampuhan pestisida kimiawi sangat tinggi. Sejalan dengan hal itu, promosi dari perusahan pembuat pestisida yang sangat gencar semakin meningkatkan ketergantungan petani terhadap pestisida kimiawi
. Seperti halnya kebutuhan pupuk yang terus meningkat, kebutuhan pestisida juga memperlihatkan pertumbuhan tiap tahun. Rata-rata peningkatan total konsumsi pestisida per tahun mencapai 6,33 persen, namun pada kenyataannya di lapangan diperkirakan dapat mencapai lebih dari 10 – 20 persen. Di lain pihak, penggunaan pestisida kimiawi yang berlebihan memberi dampak negatif terhadap lingkungan dan manusia. Keseimbangan alam terganggu dan akan mengakibatkan timbulnya hama yang resisten, ancaman bagi predator, parasit, ikan, burung dan satwa lain. Salah satu penyebab terjadinya dampak negatif pestisida terhadap lingkungan adalah adanya residu pestisida di dalam tanah sehingga dapat meracuni organisme nontarget, terbawa sampai ke sumber-sumber air dan meracuni lingkungan sekitar. Bahkan, residu pestisida pada tanaman dapat terbawa sampai pada mata rantai makanan, sehingga dapat meracuni konsumen, baik hewan maupun manusia. Bahkan akhir-akhir ini diantisipasi adanya kontaminasi pestisida pada air susu ibu. Keracunan akibat kontak langsung dengan pestisida dapat terjadi pada saat aplikasi.
  

Pestisida Hayati

Bertolak dari keadaan dunia pertanian Indonesia seperti tersebut di atas maka usaha untuk memproduksi biopestisida di dalam negeri amat memungkinkan. Faktor yang mendukung di antaranya adalah bahwa Indonesia cukup kaya dengan berbagai jenis jasad renik yang spesifik di daerah tropis dan lebih sesuai untuk iklim Indonesia, karena pada umumnya biopestisida dieksplorasi dari berbagai jenis mikroorganisme, yang merupakan musuh alami, sehingga dari ketersediaan bahan baku sangatlah berlimpah. Alam Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati merupakan sumber daya alam yang potensial untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat. Jenis jamur Trichoderma harzianum dapat dijadikan produk biofungisida yang efektif untuk mengendalikan jamur penyakit tanaman hortikultura, sayuran maupun tanaman perkebunan dan kehutanan. Jamur Metarrhizium anisopliae dan Beauveria bassiana, B. brongniartii, Verticillium lecanii, Paecilomyces sp., Entomophhthora sp., dan jamur entomopatogen lainnya dapat dijadikan produk-produk bioinsektisida. Produk bioinsektisida dengan bahan aktif jamur-jamur di atas umumnya disebut sebagai produk mikoinsektisida, yang efektif terhadap hama serangga tanaman padi, sayuran, hortikultura, dan perkebunan. Bakteri Bacillus thuringiensis telah dikenal mampu mengendalikan hama serangga pada sayuran, dalam produk yang dikenal petani sebagai racun B.t. Sementara untuk bioherbisida dapat diproduksi dengan bahan aktif berupa spora jamur Fusarium sp. avirulen.Teknologi pembuatan pestisida tidak terlalu sulit untuk diadopsi, dan dapat dikembangkan di dalam negeri. Dari ragam teknologi yang sifatnya sederhana dan murah sampai dengan yang agak canggih dan mahal. Langkah penting berikut adalah usaha untuk memproduksi biopestisida dengan harga relatif murah. Salah satu pemecahan masalah tersebut yaitu dengan memformulasikan kembali bahan baku kualitas analitik yang digunakan di luar negeri serta menggantinya dengan bahan baku lokal, yang harganya relatif lebih murah dan mudah didapatkan.


PRAKTEK PENGENDALIAN HAYATI



A. Introduksi = impor musuh alami ® praktek klasik (awal usaha pengendalian hayati).
·                     Contoh:  Memasukkan Rodolia cardinalis untuk mengendalikan kutu perisae (Icerya purchasi) pada Jeruk dari Australia ke California.
·                     Pada tahun 1920 Indonesia memasukkan Pediobius parvulus dari Fiji untuk mengendalikan hama kumbang Promecotheca reichei yang menyerang kelapa.
·                     Pada Tahun 1988-1990 introduksi Curinus careolius dari Hawai untuk mengendalikan kutu loncat Hetropsylla.

Introduksi antar pulau di Indonesia

1. Pemasukan parasitoid Tetrastichus brontispae dari pulau Jawa ke Sulawesi Selatan dan Utara untuk mengendalikan Brontispa longissima.
2. Parasitoid telur Leefmansia bicolor dari pulau Ambon ke pulau Talaud untuk mengendalikan Sexava; dan Parasitoid Chelonus sp. dari Bogor ke Flores untuk mengendalikan hama bunga kelapa Batrachedra arenosella.




Introduksi parasit/ parasitoid dari luar daerah (eksotik) bertujuan:
a. Mengisi kekosongan niche (relung) pada sistem kehidupan hama, terutama terhadap hama pendatang (migran). Hama pendatang akan cepat berkembang di lingkungan baru karena tidak ada musuh alami.
b.  Musuh alami yang ada di daerah setempat tidak memiliki kemampuan kuat untuk mengendalikan hama. Dengan memasukkan pengendali alami dari daerah lain yang memiliki kemampuan kuat untuk mengatur perkembangan populasi hama (pergantian kompetitif) dapat menekan pop. hama.
Ada beberapa langkah klasik dalam introduksi musuh alami:
1. Penjelajahan atau eksplorasi luar negeri
2. Pengiriman parasitoid dan predator dari luar negeri
3. Karantina parasitoid dan predator yang diimpor di dalam negeri
4. Perbanyakan parasitoid dan predator di laboratorium.
5. Pelepasan dan pemapanan
6. Evaluasi.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam introduksi musuh alami.
1. Teknik introduksi umumnya hanya berhasil digunakan untuk hama eksotik, sedang pada hama asli kurang berhasil.
2. Keberhasilan tergantung pada stabilitas agro-ekosistem, misal pada tanaman tahunan biasanya memiliki stabilitas agroekosistem sehingga musuh alami yang diintroduksi diharapkan dapat berkembang dan mapan pada ekosistem baru . Contoh penggunaan musuh alami untuk mengendalikan hama-hama di perkebunan.

B. Augmentasi (peningkatan)
Tujuan augmentasi adalah untuk meningkatkan jumlah musuh alami atau pengaruhnya. Hal itu dapat dicapai dengan melepaskan sejumlah tambahan musuh alami ke ekosistem atau memodifikasi ekosistem sehingga jumlah dan efektifitas musuh alami (m.a.)dapat ditingkatkan.
Teknik augmentasi biasanya bertujuan menekan populasi hama secara sementara atau berjangka waktu pendek sedangkan introduksi berjangka panjang.
Menurut Strehr (1982) pelepasan periodik augmentatik dilakukan dalam tiga cara:
1. Pelepasan inokulatif: Pelepasan m.a. hanya sekali, diharapkan m.a. dapat berbiak dan menyebar.
2. Pelepasan suplemen, m.a. dilepaskan apabila perkembangan populasi hama lebih cepat dari m.a. Bertujuan mengembalikan fungsi m.a.
3. Pelepasan massal (inundatif), bertujuan menurunkan populasi hama secara cepat, sehingga sering disebut sebagai penggunaan insektisida biologik.


C.  Konservasi musuh alami
bertujuan menghindarkan tindakan yang dapat menurunkan populasi m.a.
Sebagai contoh menggunakan insektisida secara selektif.



Pengendalian Hayati dan Patogen Tanaman

Banyak jenis tanaman asing (eksotik) yang masuk ke lokasi geografi baru tanpa disertai dengan musuh alaminya. Tanpa kehadiran musuh alaminya, tanaman eksotik akan leluasa mengkolonisasi habitat buatan dan/atau alami sehingga menjadi hama atau gulma (tanaman pengganggu). Adalah tepat jika gulma didefinisikan sebagai tanaman yang berada di tempat yang salah atau tanaman yang tidak diinginkan keberadaanya di suatu tempat, agen pengendali hayati gulma yang paling sering digunakan adalah serangga herbivora. Serangga herbivora dapat memakan berbagai bagian tanaman. Serangga mungkin pula merusak tanaman dengan melubangi batang atau akar ketika meletakkan telurnya. Serangga herbivora dapat pula mengendalikan gulma dengan jalan mentransmisikan penyakit (patogen) tanaman. Serangga herbivora yang digunakan sebagai agen pengendali hayati harus spesifik, sehingga hanya menekan populasi gulma tanpa berpengaruh buruk terhadap tanaman yang berguna. Pengendalian hayati kaktus Opuntia inermis dan O. stricta dengan menggunakan ngengat Cactoblastis cactorum di Australia sekitar tahun 1926-1935 adalah satu di antara beberapa keberhasilan pengendalian hayati gulma dengan serangga yang sangat spektakuler. Keberhasilan pengendalian hayati gulma di suatu tempat tidak selalu dapat diulangi di tempat lain. Ngengat Cactoblastis, misalnya ternyata kurang berhasil ketika digunakan untuk mengendalikan kaktus Opuntia di Afrika Selatan, Organisme lain yang juga berpotensi sebagai agen pengendali hayati gulma adalah patogen (kapang dan bakteri) dan ikan herbivora. Keberhasilan penggunaan kapang karat diperlihatkan pada kasus pengendalian gulma kerangka di Australia Tenggara. Kecuali dengan menggunakan serangga dan kapang, pengendalian gulma air dapat pula dilakukan dengan memakai ikan koan (Ctenopharyngodon idella) triploid yang steril. Pengendalian hayati terhadap penyakit tanaman melibatkan penggunaan agen pengendali kapang dan bakteri untuk menyerang dan mengendalikan patogen tanaman serta penyakit yang ditimbulkannya. Mekanisme pengendalian hayati penyakit tanaman meliputi penggunaan mikroorganisme antagonis, pesaing, hiperparasit, perangsang mekanisme pertahanan alami inang, dan pemodifikasi lingkungan. Penerapan antagonis dapat dilakukan dengan cara memberikannya pada bagian-bagian tanaman yang luka karena pemangkasan, melapisi benih tanaman, bahkan dengan memasukkannya ke dalam malam (wax) yang dipakai dalam proses packing. Inokulasi tanaman inang dengan antagonis telah pula digunakan untuk melawan patogen umum.
Strategi Pengendalian Hayati Gulma
1. Pengendalian hayati gulma adalah suatu pilihan jika kita tidak harus menyingkirkan, membasmi, atau membunuh gulma secara cepat. Secara keseluruhan, penggunaan musuh alami untuk mengendalikan gulma akan lebih murah daripada herbisida. Program yang sukses akan menghasilkan biaya yang efisien, pengelolaan gulma yang berkelanjutan, dan tanpa atau hanya mempunyai pengaruh minimal terhadap tanaman bukan target dan lingkungan.
2.    Pengendalian hayati gulma dapat dilakukan dengan melepaskan agen pengendali ke tempat-tempat tertentu. Setelah itu agen pengendali diharapkan akan menyebar sendiri. Pengendalian hayati gulma dengan cara ini merupakan sebuah pendekatan ekologis atau pendekatan klasik dan biasanya bekerja baik pada sistem yang relatif stabil.
3.   Pengendalian hayati gulma dapat pula dilakukan dengan cara membanjiri populasi gulma target dengan agen pengendali. Pengendalian hayati dengan cara ini harus disertai dengan teknologi perbanyakan agen pengendali. Agen pengendali yang dipakai biasanya tidak bisa mapan dan karena itu harus diulang aplikasinya. Pengendalian hayati dengan cara ini pada dasarnya adalah suatu pendekatan teknologi.
4.   Ada pula pengendalian hayati gulma dengan cara konservasi dan pengendalian berspektrum lebar. Kedua pendekatan ini masing-masing merupakan pendekatan yang bersifat ekologi dan teknologi.
5.    Beberapa langkah dalam program pengendalian hayati gulma dengan pendekatan ekologi atau pengendalian hayati klasik adalah
a. identifikasi gulma target,
b. identifikasi agen pengendali dan penilaian tingkat kekhususan inang,
c. pelepasan terkendali,
d. pelepasan penuh dan identifikasi tempat pelepasan yang optimal,
e. pemantauan tempat pelepasan,
f. pendistribusian ke tempat lain, dan
g. pemeliharaan populasi agen pengendali.
6.    Masa depan pengendalian hayati gulma sangatlah optomis. Di Indonesia, peluang yang tersedia untuk pengendalian hayati gulma relatif tidak terbatas. Mikroorganisme patogen tanaman menawarkan peluang yang luar biasa besar untuk pengendalian hayati gulma. Untuk gulma di bidang pertanian, perkebunan, atau tempat-tempat lain yang sering terganggu karena intervensi manusia, pengendalian hayati dengan menggunakan mikoherbisida sangatlah menjanjikan. Penggunaan fitotoksin adalah pendekatan lain yang dapat digunakan untuk mengendalikan gulma.

Tujuan dan Pendekatan Pengendalian Hayati
Ada tiga tujuan dari pengendalian hayati, yaitu reduksi, pencegahan, dan penundaan. Reduksi populasi hama dilakukan setelah hama mencapai tingkat yang menimbulkan masalah. Dengan reduksi, populasi hama diharapkan dapat berkurang ke tingkat yang cukup rendah sehingga hama tidak lagi menimbulkan masalah dalam jangka waktu yang lama. Pencegahan dalam pengendalian hayati dimaksudkan untuk menjaga populasi hama potensial agar tidak mencapai tingkat luka ekonomi (TLE). Pencegahan membutuhkan intervensi awal sebelum hama potensial berkembang mencapai atau melewati TLE.  Pada penundaan, populasi hama dapat berkembang ke tingkat yang tinggi, tetapi terjadi ketika serangga tidak lagi dianggap sebagai hama karena berada di luar jendela waktu. Penundaan perkembangan hama membutuhkan intervensi awal sebelum populasi hama potensial mencapai atau melewati TLE.
Tiga pendekatan dalam pengendalian hayati adalah importasi atau yang disebut pula dengan sebutan pengendalian hayati klasik, augmentasi, dan konservasi. Pendekatan importasi melibatkan introduksi musuh alami (pemangsa, parasitoid, dan patogen) eksotik, dan umumnya digunakan untuk melawan hama eksotik pula. Pendekatannya didasarkan pada pemahaman bahwa makhluk hidup yang tidak disertai dengan musuh alami asli akan lebih bugar (fit) dan akan lebih melimpah dan lebih mampu bersaing daripada yang menjadi subjek pengendalian alami. Untuk mengendalikannya perlu dicarikan musuh alami yang efektif di tempat asalnya. Praktek augmentasi didasarkan pada pengetahuan atau asumsi bahwa pada beberapa situasi jumlah individu atau jenis musuh alami tidak cukup memadai untuk mengendalikan hama secara optimal. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas pengendalian hama, jumlah musuh alami perlu ditambah melalui pelepasan secara periodik. Ada dua pendekatan augmentasi, yaitu inokulasi sejumlah kecil musuh alami dan inundasi (membanjiri) dengan jumlah yang besar, tergantung pada tujuannya. Pengendalian hayati konservasi pada dasarnya adalah melindungi, memelihara, dan meningkatkan efektivitas populasi musuh alami yang sudah ada di suatu habitat. Konservasi merupakan pendekatan paling penting jika kita ingin memelihara populasi musuh alami, baik asli maupun eksotik, di dalam ekosistem pertanian. Manipulasi genetik telah memberikan harapan besar untuk meningkatkan keampuhan musuh alami. Manipulasi genetik musuh alami serangga dapat dilakukan untuk meningkatkan resistensi terhadap pestisida, meningkatkan toleransi terhadap iklim, meningkatkan kemampuan menemukan inang, mengubah preferensi inang, meningkatkan sinkronisasi dengan inang, meningkatkan fekunditas, dan mengin-duksi reproduksi thelytoky. Sampai saat ini, hanya seleksi buatan terhadap musuh alami saja yang berhasil dilakukan. Potensi heterosis dan teknologi rDNA masih belum dipraktekkan.

Pengendalian Hayati dengan patogen hama
1. Memanfaatkan secara maksimal proses pengendalian alami oleh patogen. Menjaga ekosistem supaya patogen berfungsi secara “density dependent”
2. Introduksi dan aplikasi patogen hama sebagai faktor mortalitas tetap. Teknik yang digunakan adalah dengan cara memasukkan dan menyebarkan patogen. Agar patogen dapat bwrkembang diperlukan syarat adanya kepadatan pop. inang tinggi (hama dengan AE tinggi), sehingga cukup bagi perkembangan awal patogen.
3. Aplikasi patogen sebagai insektisida mikroba, bertujuan menekan populasi hama sementara waktu. Contoh penggunaan NPV terhadap Helicoverpa armigera, Agrotis ipsilon) dan Bacillus thuringiensis terhadap Leptinotarsa decemlineata (menyerang umbi kentang), Agrotis ipsilon, Darna trima. Cendawan Mettarizium anisopliae terhadap Helicoverpa armigera, Agrotis ipsilon, Oryctes rhinoceros, Spodoptera litura.
Keuntungan penggunaan insektisida mikroba adalah berspektrum sempit, khas inang, aman bagi lingkungan, tidak membunuh binatang bukan sasaran, permanen, aman dan ekonomik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar