I. PENDAHULUAN
Kedelai merupakan sumber protein penting di Indonesia, kesadaran masyarakat akan pemenuhan gizi yang baik semakin meningkat baik kecukupan protein hewani maupun protein nabati. Protein hewani yang sampai saat ini masih mahal mengakibatkan masyarakat memilih alternatif protein nabati dengan harga yang murah dan terjangkau oleh masyarakat luas (Rukmana dan Yuyun, 1996). Menurut Adisarwanto (2005), sebagai bahan makanan nilai gizi kedelai termasuk tinggi, kedelai mempunyai kandungan protein sebesar 41%, 20% lemak, dan sisanya terdiri dari kabohidrat (14,85%), air (13,75%), dan mineral (5,25%). Biji kedelai mengandung gizi yang tinggi dan bisa diolah dalam berbagai bentuk olahan. Aneka bentuk olahan dari kedelai yang dikenal masyarakat yaitu tahu, tempe, kecap, tauco, oncom hingga peyek kedelai.
Permintaan kedelai untuk konsumsi, pakan ternak dan bahan baku industri dari tahun ketahun terus meningkat. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan perkapita dan kesadaran masyarakat akan gizi makanan. Namun, laju permintaan tersebut ternyata belum dapat diimbangi oleh laju peningkatan produksi kedelai. Menurut Dirjen Tanaman Pangan (2008), kebutuhan kedelai Nasional adalah 2 juta ton lebih per tahun untuk jumlah penduduk 220 juta.
Menurut Basisdata Statistik Pertanian (2008), selama 4 tahun terakhir produksi kedelai nasional mengalami fluktuasi. Pada tahun 2004, hasil produksi kedelai mencapai 723.199 ton dan tahun 2005 mengalami peningkatan sebesar 808.353 ton. Sedangkan pada tahun 2007 terjadi penurunan sebesar 155.230 ton dari 747.611 ton pada tahun 2006 menjadi 592.381 ton. Penurunan produksi tersebut mengharuskan pemerintah mengimpor kedelai untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang terus bertambah.
Ketergantungan kepada sistem impor ini akan riskan bagi ketahanan pangan nasional. Oleh karena itu, produktivitas tanaman kedelai perlu terus dipacu dengan mengembangkan inovasi teknologi pertanian di berbagai komponen, baik dalam hal pengembangan suatu rakitan teknologi yang merupakan gabungan dari penyiapan lahan optimal, pemupukan yang berimbang sesuai dengan spesifik lokasi, pemeliharaan yang intensif, pengendalian hama penyakit, pemilihan varietas unggul yang sesuai dan dapat beradaptasi dengan kondisi agroekologi setempat serta diikuti pula dengan penanganan pasca panen yang tepat (Riyanto, 2006).
Kebutuhan kedelai yang terus meningkat sedangkan produksi kedelai belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat merupakan peluang sekaligus tantangan bagi para petani untuk meningkatkan produksi kedelai di dalam negeri. Ada beberapa hal yang menyebabkan penurunan produksi kedelai di Indonesia, diantaranya semakin sempitnya lahan pertanian yang banyak digunakan untuk kepentingan non pertanian serta tanaman kedelai yang belum banyak dibudidayakan sebagai tanaman utama dan lebih sering sebagai tanaman sampingan dan tanaman sela musim bagi tanaman padi. Varietas kedelai yang telah ada juga belum mampu mencukupi kebutuhan sehingga diperlukan varietas baru yang memiliki daya tumbuh dan produktivitas yang lebih tinggi (Rukmana dan Yuyun, 1996.).
Peluang peningkatan produksi dan produktivitas tanaman kedelai dapat dicapai diantaranya melalui penggunaan benih unggul bermutu dan meningkatkan populasi tanaman. Penggunaan varietas unggul yang mempunyai adaptasi luas terhadap pola tanam dan kondisi setempat merupakan faktor penting. Varietas kedelai mempunyai sifat khusus baik terhadap daerah maupun lingkungan lain (Somaatmaja, 1985).
Menurut Kartowinoto (1995), salah satu cara menaikan produksi adalah dengan penggunaan kedelai varietas unggul disertai perbaikan teknologi bercocok tanam yang sesuai. Hingga saat ini usaha-usaha dan penelitian untuk menemukan varietas unggul dapat ditempuh dengan beberapa cara yaitu: a) introduksi atau mendatangkan varietas/bahan seleksi dari luar negeri, b) mengadakan seleksi galur terhadap populasi yang telah ada seperti varietas lokal atau varietas dalam koleksi dan c) mengadakan program pemuliaan dengan persilangan, mutasi atau teknik mandul jantan.
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memecahkan beberapa masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana hasil galur harapan kedelai dari Fakultas Pertanian UNSOED yang memiliki karakter berbiji besar dan berumur genjah pada lahan di desa Pakuncen Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga.
2. Galur-galur harapan dari Fakultas Pertanian UNSOED mana yang mempunyai umur panen yang lebih genjah dan produksi tinggi.
A. Botani Tanaman Kedelai
1. Klasifikasi Tanaman Kedelai
Menurut Hidajat (1985), pada awalnya, kedelai dikenal dengan beberapa nama botani, yaitu Glycine soja dan Soja max. Namun pada tahun 1948 telah disepakati bahwa nama botani yang dapat diterima dalam istilah ilmiah, yaitu Glycine max (L.) Merill. Klasifikasi tanaman kedelai sebagai berikut :
Divisio : Spermatophyta
Classis : Dicotyledoneae
Ordo : Polypetales
Familia : Leguminosaceae
Sub-famili : Papilionoideae
Genus : Glycine
Species : Glycine max (L.) Merill
Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merill) diperkirakan berasal dari jenis liar yang tumbuh banyak di Cina, Manchuria, dan Korea. Pada awalnya tanaman tersebut berjenis tanaman semusim yang merambat dengan daun bertangkai tiga berukuran kecil dan sempit, berbunga ungu, serta berbiji kecil keras bentuk agak bundar dan berwarna hitam atau coklat tua. Tanaman kedelai mulai masuk dan dibudidayakan di Indonesia sejak abad ke tujuh belas dan telah ditanam di berbagi daerah (Hidajat, 1985).
2. Morfologi Tanaman Kedelai
Tanaman kedelai umumnya tumbuh tegak, berbentuk semak, dan merupakan tanaman semusim. Morfologi tanaman kedelai didukung oleh komponen utamanya, yaitu akar, daun, batang, polong, dan biji sehingga pertumbuhannya bisa optimal (Adisarwanto, 2005).
1. Akar
Akar kedelai mulai muncul dari belahan kulit biji yang muncul di sekitar mesofil. Calon akar tersebut kemudian tumbuh dengan cepat ke dalam tanah, sedangkan kotiledon yang terdiri dari dua keping akan terangkat ke permukaan tanah akibat pertumbuhan yang cepat dari hipokotil. Sistem perakaran kedelai terdiri dari dua macam, yaitu akar tunggang dan akar sekunder (serabut) yang tumbuh dari akar tunggang. Selain itu kedelai juga seringkali membentuk akar adventif yang tumbuh dari bagian bawah hipokotil (Pustaka Unpad, 2009).
2. Batang dan cabang
Hipokotil pada proses perkecambahan merupakan bagian batang, mulai dari pangkal akar sampai kotiledon. Hopikotil dan dua keping kotiledon yang masih melekat pada hipokotil akan menerobos ke permukaan tanah. Bagian batang kecambah yang berada diatas kotiledon tersebut dinamakan epikotil. Pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe determinate dan indeterminate. Perbedaan sistem pertumbuhan batang ini didasarkan atas keberadaan bunga pada pucuk batang. Pertumbuhan batang tipe determinate ditunjukkan dengan batang yang tidak tumbuh lagi pada saat tanaman mulai berbunga. Sementara pertumbuhan batang tipe indeterminate dicirikan bila pucuk batang tanaman masih bisa tumbuh daun, walaupun tanaman sudah mulai berbunga. Disamping itu, ada varietas hasil persilangan yang mempunyai tipe batang mirip keduanya sehingga dikategorikan sebagai semi-determinate atau semiindeterminate. Cabang akan muncul di batang tanaman. Jumlah cabang tergantung dari varietas dan kondisi tanah, tetapi ada juga varietas kedelai yang tidak bercabang. Jumlah batang tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan jumlah biji yang diproduksi. Artinya, walaupun jumlah cabang banyak, belum tentu produksi kedelai juga banyak (Adisarwanto, 2005).
3. Daun
Tanaman kedelai mempunyai dua bentuk daun yang dominan, yaitu stadia kotiledon yang tumbuh saat tanaman masih berbentuk kecambah dengan dua helai daun tunggal dan daun bertangkai tiga (trifoliate leaves) yang tumbuh selepas masa pertumbuhan. Umumnya, bentuk daun kedelai ada dua, yaitu bulat (oval) dan lancip (lanceolate). Kedua bentuk daun tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik. Bentuk daun diperkirakan mempunyai korelasi yang sangat erat dengan potensi produksi biji. Umumnya, daerah yang mempunyai tingkat kesuburan tanah tinggi sangat cocok untuk varietas kedelai yang mempunyai bentuk daun lebar (Pustaka Unpad, 2009).
4. Bunga
Bunga kedelai termasuk bunga sempurna, yaitu setiap bunga mempunyai alat perkembangbiakan jantan dan betina. Penyerbukan terjadi ada saat mahkota bunga masih menutup sehingga kemungkinan kawin silang sangat kecil. Bunga terletak pada ruas-ruas batang, berwarna ungu atau putih. Bunga tidak semuanya dapat menjadi polong, walaupun telah terjadi penyerbukan secara sempurna. Umur berbunga tiap tanaman veragam antara 30 sampai 50 hari tergantung varietasnya. Pembungaan dipengaruhi oleh lama penyinaran matahari dan suhu (Sumarno,1984). Setelah pembungaan berhenti pada umumnya pengisian dan pemasakan biji berlanjut 30-40 hari berikutnya, yaitu terakumulasinya bahan kering ke dalam biji (Hidajat, 1985).
5. Polong dan biji
Polong kedelai pertama kali terbentuk sekitar 7-10 hari setelah munculnya bunga pertama. Jumlah polong yang terbentuk pada setiap ketiak tangkai daun sangat beragam, antara 1-10 buah dalam setiap kelompok. Pada setiap tanaman, jumlah polong dapat mencapai lebih dari 50, bahkan ratusan. Di dalam polong terdapat biji yang berjumlah 2-3 biji. Setiap biji kedelai mempunyai ukuran bervariasi, mulai dari kecil (sekitar 7-9 g/100 biji), sedang (10-13 g/100 biji), dan besar (>13 g/100 biji). Bentuk biji bervariasi, tergantung pada varietas tanaman, yaitu bulat, agak gepeng, dan bulat telur. Biji kedelai terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu kulit biji dan janin (embrio). Pada kulit biji terdapat bagian yang disebut pusar (hilum) yang berwarna coklat, hitam, atau putih. Warna kulit biji bervariasi, mulai dari kuning, hijau, coklat, hitam, atau kombinasi campuran dari warna-warna tersebut. Biji kedelai tidak mengalami masa dormansi sehingga setelah proses pembijian selesai, biji kedelai dapat langsung ditanam. Namun demikian, biji tersebut harus mempunyai kadar air berkisar 12-13% (Adisarwanto, 2005).
B. Varietas Unggul Kedelai
Varietas memegang peranan penting dalam perkembangan penanaman kedelai karena untuk mencapai produktivitas yang tinggi sangat ditentukan oleh potensi daya hasil dari varietas unggul yang ditanam. Potensi hasil biji di lapangan masih dipengaruhi oleh interaksi antara faktor genetik varietas dengan pengelolaan kondisi lingkungan tumbuh. Bila pengelolaan lingkungan tumbuh tidak dilakukan dengan baik, potensi daya hasil biji yang tinggi dari varietas unggul tersebut tidak dapat tercapai (Adisarwanto, 2005).
Upaya peningkatan hasil produksi kedelai terus dilakukan oleh pemerintah, salah satunya dengan mengadakan seleksi hasil persilangan galur terhadap populasi yang telah ada seperti varietas lokal, adapun galur-galur yang akan diseleksi dan diuji coba merupakan galur-galur berumur genjah dan berbiji besar. Penggunaan varietas unggul yang mempunyai adaptasi tinggi terhadap pola tanam dan kondisi setempat merupakan faktor penting dalam pemilihan varietas yang akan digunakan untuk pengujian hasil kedelai. Varietas kedelai yang diinginkan pada umumnya adalah varietas-varietas yang berumur genjah (pendek), karena dapat dimanfaatkan untuk mengisi pola tanam yang waktunya hanya sekitar 80 hari. Sedangkan sifat utama yang diinginkan dari suatu varietas unggul kedelai adalah daya hasil yang tinggi, selain memiliki sifat-sifat baik lainnya seperti toleran terhadap cekaman lingkungan non biotik, memiliki sifat agronomik yang baik (batang kokoh, tidak rebah, umur genjah, tipe tumbuh determinat, dan polong tidak mudah pecah), serta mempunyai kualitas biji yang baik (Somaatmaja, 1985).
Menurut Sumarno (1985), untuk mendapatkan varietas unggul kedelai pada dasarnya meliputi empat tahap pekerjaan, yaitu : 1) pembentukan populasi dasar untuk bahan seleksi, 2) pembentukan galur murni dan seleksi, 3) pengujian daya hasil, 4) pemurnian dan penyediaan benih. Untuk pembentukan populasi dasar telah dilakukan persilangan. Persilangan ini bertujuan untuk menggabungkan sifat-sifat baik dari kedua tetuanya. Akan tetapi kelemahan dari persilangan tersebut adalah tidak semua gen yang baik dapat terkumpul pada galur-galur yang dihasilkan.
Dalam usaha untuk mendapatkan varietas yang berdaya hasil tinggi, Fakultas Pertanian Universitas Jendral Soedirman telah berhasil menyilangkan varietas unggul yang ada untuk menggabungkan sifat-sifat baik yang dikehendaki. Salah satu di antaranya adalah persilangan antara kedelai varietas sindoro dan kedelai varietas lokon. Varietas Sindoro dirakit pemulia tanaman Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto dan memiliki berbagai kelebihan. Varietas Sindoro yang dilepas tersebut dirakit secara khusus untuk mengatasi kendala tanah masam. Jadi varietas ini sangat cocok untuk daerah di luar Pulau Jawa yang pH-nya rendah dengan kandungan Al tinggi yakni tanah podsolik merah kuning (Sinar Harapan, 2001). Varietas Sindoro dilepas tahun 1995, mempunyai potensi hasil sekitar 2,1 ton per hektar, umur berbunga 36 hari, umur masak 86 hari, dan bobot 100 biji 12 gr serta toleran penyakit karat daun dan tahan rebah. Sedangkan varietas Lokon dilepas tahun 1982, mempunyai potensi hasil sekitar 1,5-2,0 ton per hektar, umur berbunga ± 32 hari, umur masak 75 hari, dan bobot 100 biji 10-11 gr serta tahan penyakit/virus dan agak tahan karat (Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan, 2007).
Penelitian ini bertujuan : (1) Mengetahui hasil dari galur harapan kedelai dari Fakultas Pertanian UNSOED yang memiliki karakter berbiji besar dan berumur genjah dan (2) Mengetahui galur-galur harapan dari Fakultas Pertanian UNSOED mana yang mempunyai umur panen yang lebih genjah. Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah : (1) Memberikan data dan informasi tentang beberapa galur kedelai dari Fakultas Pertanian UNSOED yang memiliki daya hasil tinggi dan umur panen lebih genjah serta (2) Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk melaksanakan penelitian yang serupa atau yang dikembangkan dan memberikan informasi bagi yang membutuhkan. Hipotesis yang dapat diajukan pada penelitian ini adalah galur-galur yang diuji yang berasal dari Fakultas Pertanian UNSOED memiliki daya tumbuh dan hasil yang baik dibanding varietas pembanding dan terdapat satu galur yang memiliki daya hasil paling tinggi dan memiliki umur panen paling genjah.
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di lahan pertanian tanaman kedelai di desa Pakuncen, Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah dengan ketinggian tempat 149 m di atas permukaan laut dan jenis tanah Aluvial. Penelitian dilakukan mulai April sampai dengan 2009.
B. Alat dan Bahan
1. Alat :
Alat yang akan digunakan untuk penelitian adalah timbangan elektrik, oven, tugal, cangkul, pancong, papan nama, mistar, alat tulis.
2. Bahan :
Bahan yang akan digunakan untuk penelitian adalah 5 galur kedelai yang berasal dari Fakultas Pertanian UNSOED yaitu L/S:B6-G1 (U1), L/S:B6-G2 (U2), L/S:B6-G5 (U3), L/S:B6-G6 (U4), L/S:B6-G7 (U5) dan 4 varietas pembanding yaitu varietas Burangrang, Grobogan, Tidar, Argomulyo, pupuk kandang, pupuk NPK, pupuk daun dan beberapa jenis pestisida dan insektisida. Luas lahan yang digunakan sekitar 460 m2.
C. Rancangan percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga kali ulangan. Pelakuan yang dicoba adalah 9 perlakuan (5 galur yang diuji dan 4 varietas pembanding). Ukuran petak yang digunakan 4,1 m x 3,5 m, jarak tanam 30 cm x 15 cm, jarak antar petakan 40 cm, jarak antar blok 50 cm. Dalam setiap petak terdapat 297 lubang tanam dengan 2 benih per lubang tanam sehingga kira-kira terdapat 594 tanaman dengan galur sejenis, sehingga jumlah seluruh tanaman (594 x 9 x 3) sebanyak 15.948 tanaman.
D. Variabel yang Diamati
1. Komponen Pertumbuhan
a. Tinggi tanaman (cm)
Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah sampai ke ujung batang utama. Pengukuran dilakukan dua minggu sekali sampai tinggi tanaman mencapai kondisi maksimum yaitu pada fase pengisian polong.
b. Jumlah cabang produktif per tanaman (buah)
Jumlah cabang produktif dihitung sampai pada pertumbuhan cabang terakhir yang menghasilkan polong. Jumlah cabang produktif per tanaman dihitung pada saat panen.
c. Luas daun (cm2)
Luas daun diukur mulai pada fase vegetative maksimal atau fase berbunga dengan metode panjang kali lebar (daun diambil dari sampel) dan dilakukan 1 minggu sekali. Daun diukur panjang dan lebarnya yaitu pada daun trifoliat ke-3, 4 dan ke-6 pada daun yang tengah. Menurut Sitompul (1995), pendugaan luas daun trifoliat pada tanaman kedelai dilakukan dengan menggunakan persamaan :
L = p x l x k
Dengan ketentuan : L = luas daun (cm2)
p = panjang daun (cm)
l = lebar daun (cm)
k = konstanta (0,74)
d. Umur berbunga (hst)
Umur berbunga dihitung sejak mulai penanaman hingga tanaman berbunga 90 persen.
e. Umur panen (hst)
Umur panen diamati pada saat 80% polong pada populasi tanaman per unit percobaan telah mencapai fase masak fisiologis, yang ditandai dengan perubahan warna polong menjadi kecokelatan, batang tanaman tidak berwarna hijau lagi dan beberapa daun telah kering atau rontok.
2. Komponen Hasil
a. Jumlah polong (buah)
Jumlah polong dihitung setelah tanaman dipanen berdasarkan semua polong yang ada pada tanaman.
b. Jumlah polong isi (buah)
Jumlah polong isi dihitung berdasarkan semua polong yang berisi pada tanaman.
c.Jumlah biji per tanaman
dihitung berdasarkan jumlah semua biji yang ada pada tanaman.
d. Bobot biji per tanaman (g)
Bobot biji per tanaman diperoleh dengan menimbang total biji yang dihasilkan per tanaman setelah biji dikeringkan.
e. Bobot 100 biji (g)
Bobot 100 biji diamati setelah panen dengan cara menimbang 100 biji (dipilih biji yang bernas) yang sudah dikeringkan.
f. Bobot brangkasan kering (g)
Bobot brangkasan kering diamati setelah panen dengan menimbang brangkasan per tanaman setelah dikeringkan dalam oven hingga kadar airnya mencapai kering oven (dioven selama sekitar 2 hari).
g. Bobot biji per petak efektif (g)
Bobot biji per petak efektif adalah bobot total biji dalam setiap petak efektif, dan penimbangan dilakukan setelah biji dikering-anginkan.
E. Analisis Data
Data dianalisis dengan menggunakan dengan diuji F untuk mengetahui keragamannya, dan apabila hasil uji F menunjukkan adanya perbedaan, dilanjutkan dengan uji beda rata-rata Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kesalahan 5%.
F. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
1. Persiapan
Tahap persiapan meliputi persiapan lahan dan benih. Lahan yang akan digunakan merupakan lahan bekas tanaman jagung dan diolah terlebih dahulu sebelum ditanami kedelai, kemudian dibuat saluran drainase dan petak-petak percobaan sebanyak 27 petak dengan ukuran masing-masing petak 4,1 m x 3,5 m, jarak antar petakan 40 cm, jarak antar blok 50 cm dengan luas lahan sekitar 460 m2.
2. Pemberian Pupuk Dasar
Pemberian pupuk dasar dilakukan seminggu sebelum penanaman. Pupuk dasar yang digunakan adalah pupuk kandang yang diberikan pada petakan dengan cara dimasukkan ke dalam lubang tanam, lalu dicampur secara merata dengan tanah. Selain itu pupuk dasar juga dicampur dengan tanah sedalam lapisan olah pada tiap alur atau barisan yang akan ditanami benih sebelum pengolahan tanah. Dosis pemberian pupuk dasar yaitu sekitar 5 ton/ha. Jadi kebutuhan pupuk kandang per petak adalah :
x 5 ton = 7,175 kg
3. Penanaman
Kegiatan penanaman dilakukan dengan cara ditugal, dan benih kedelai langsung ditanam pada lubang, setiap lubang tanaman diberi dua benih dengan jarak tanam 30 cm x 15 cm.
4. Penyulaman
Kegiatan penyulaman dilakukan jika tanaman tidak tumbuh atau mati, penyulaman dilakukan satu minggu setelah tanam dan waktu penyulaman dilakukan sampai dengan satu minggu agar pertumbuhan tanaman dapat merata.
5. Pemupukan
Kegiatan pemupukan dilakukan dengan diberikan pada larikan menurut baris tanaman selama 1 kali pada saat tanaman berumur 2 minggu. Dosis anjuran pemberian pupuk pada tanaman kedelai menurut Adisarwanto dan Rini W (2002) adalah sebesar 50-100 kg Urea, 50-100 kg SP36 dan 50-75 kg KCl dan pupuk yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pupuk Phonska yang mempunyai kandungan NPK lengkap (perbandingan N:P:K yaitu 15:15:15) dengan dosis 300 kg per ha, jadi kebutuhan pupuk per petak adalah sebagai berikut :
Pupuk =x 300 kg = 0,43 kg = 430 gr (1,44 gr per lubang tanam)
6. Pemeliharaan Tanaman
Kegiatan pemeliharaan tanaman kedelai dilakukan agar mendapatkan hasil produksi yang memuaskan. Pemeliharaan tanaman kedelai meliputi penyiangan yang dilakukan 2 kali pada saat tanaman berumur 2 dan 4 minggu setelah tanam, pengendalian hama dan penyakit, pemupukan lanjutan dan pengairan.
7. Kegiatan panen
Pemanenan kedelai harus dilakukan pada saat umur masak optimal (masak fisiologis) agar diperoleh mutu hasil dan produksi yang tinggi. Umur masak optimal sangat beragam sesuai dengan varietasnya. Pada umumnya varietas unggul dikembangkan saat umur masak optimal 80-90 hari. Masa panen selain atas dasar umur optimal juga dapat melalui tanda-tanda visual polong dan tanaman. Panen dilakukan bila tanaman sudah matang dimana 90% polong telah matang, berwarna kecoklatan, daun telah rontok, kulit polong mudah dikupas, kadar air dibawah 25% dan batang sudah kering.
8. Pengamatan
Pengamatan dilakukan sejak benih ditanam sampai panen berdasarkan variabel yang diamati. Pengamatan variabel pertumbuhan dilakukan mulai 2 minggu setelah tanam sampai panen setiap 2 minggu sekali ditambah saat tanaman berumur 35 hari setelah tanam. Variabel hasil diamati setelah panen.
G. Jadwal Pelaksanaan
Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan untuk percobaan lapang dan 2 bulan untuk studi pustaka dan penulisan laporan
A. Kondisi Umum Wilayah Penelitian
Penelitian dilaksanakan di lahan pertanian tanaman kedelai di desa Pakuncen, Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah dengan ketinggian tempat 149 m di atas permukaan laut dan jenis tanah adalah tanah aluvial. Penelitian dilakukan mulai bulan April 2009 sampai dengan bulan Juni 2009. Benih kedelai yang digunakan berasal dari Fakultas Pertanian UNSOED yang merupakan benih hasil persilangan kedelai varietas Sindoro dan Lokon dengan karakteristik berbiji besar dan mempunyai umur panen yang genjah dan sedang (79-83 HST).
Benih kedelai ditanam pada awal bulan April 2009 dan mulai berkecambah pada hari kelima. Sebelum benih kedelai ditanam, terlebih dahulu dilakukan pengolahan tanah. Pengolahan tanah dilakukan oleh beberapa orang petani dan tanah yang sudah diolah dibagi menjadi 27 petak yang masing-masing petak berukuran 4,1 m X 3,5 m. Pada hari keempat belas atau umur dua minggu setelah tanam tinggi tanaman sudah mencapai rata-rata 11,6 cm dan sudah memiliki 1-2 lembar daun trifoliate. Penyulaman dilakukan pada minggu pertama karena banyak benih yang tidak tumbuh pada galur/varietas tertentu, terutama pada galur U1 banyak yang tidak tumbuh (persentase perkecambahan benih kecil). Penyiangan dilakukan saat tanaman kedelai berumur dua minggu sampai tanaman mulai berbunga. Penyiangan dilakukan karena gulma mulai tumbuh dan menutupi area pertanaman. Gulma yang banyak tumbuh di areal pertanaman adalah rumput teki ( Cyperus rotundus ). Tanaman mulai berbunga pada umur 32 sampai 35 hari setelah tanam.
Tanaman kedelai pada penelitian ini ditanam pada akhir musim hujan dengan curah hujan yang cukup tinggi dari awal pertumbuhan tanaman sampai tanaman memasuki masa panen. Curah hujan yang tinggi menyebabkan banyak tanaman kedelai yang rebah ke tanah terutama saat hujan dusertai angin yang kencang. Curah hujan yang tinggi juga menyebabkan kelembaban udara menjadi tinggi sehingga kondusif bagi penyakit tanaman kedelai. Penyakit yang paling banyak menyerang tanaman kedelai adalah penyakit karat daun dengan gejala pada daun tampak bercak dan bintik coklat yang dibawa patogen cendawan Phachyrizi phakospora. Selain itu beberapa tanaman juga terserang penyakit kerdil dengan gejala daun berkeriput, pada daun muda tampak keriting dan kasar. Penyakit ini disebabkan oleh virus, yaitu Virus Soybean Dwarf (VSD). Hama yang paling banyak terlihat menyerang tanaman kedelai adalah hama ulat daun atau ulat jengkal dan kepik hijau. Ulat daun atau ulat jengkal menyerang bagian daun sehingga daun menjadi berlubang-lubang dan rusak tidak beraturan, sedangkan hama kepik hijau menyerang polong dan biji menyebabkan polong atau biji menjadi keriput dan berbintik-bintik. Pengendalian hama dengan menggunakan insektisida Sidametrin dan Catleya.
B. Pertumbuhan dan Hasil Galur/Varietas
Hasil analisis beberapa sifat agronomik galur/varietas selama penelitian disajikan pada tabel 1. Terdapat perbedaan yang sangat nyata antar galur-galur/varietas yang diuji bila dilihat pada variabel tinggi tanaman, jumlah cabang produktif, umur berbunga, umur panen, jumlah polong total, jumlah polong isi, julah biji per tanaman, bobot 100 biji, dan bobot brangksan kering, sedangkan pada variabel bobot biji per tanaman tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
Berdasarkan uji statistik, tinggi tanaman antar galur yang diuji terdapat perbedaan sangat nyata. Dari tabel 1 terlihat bahwa galur-galur yang diuji mempunyai tinggi tanaman berkisar antara 63,63 cm sampai 78,38 cm, sedangkan varietas pembandingnya mempunyai tinggi tanaman antara 48,05 sampai 79,14. Di antara 5 galur yang diuji tinggi tanamannya cenderung melebihi varietas pembandingnya, tetapi masih lebih rendah dibandingkan dengan varietas Burangrang.
Menurut Somaatmadja (1985), tinggi tanaman 75 cm untuk tanaman kedelai sudah cukup, karena panjang ruas umumnya terletak antara 3 cm sampai 5 cm. Oleh karena itu semakin tinggi tanaman diharapkan semakin banyak buku subur yang terbentuk sehingga jumlah polong dan biji yang terbentuk juga semakin banyak. Sifat tinggi tanaman dapat digunakan sebagai salah satu komponen pertumbuhan tanaman untuk memilih galur-galur yang berdaya hasil tinggi. Pada penelitian ini galur yang mempunyai tinggi tanaman paling tinggi diikuti hasil yang tinggi pula.
Jumlah cabang produktif antar galur yang diuji menunjukkan perbedaan yang sangat nyata, mempunyai nilai berkisar 2,2 sampai 3,77 buah, sedangkan pada varietas nilainya antara 1,43 buah pada varietas Grobogan sampai 4,67 buah pada varietas Tidar. Jumlah cabang produktif galur yang diuji dapat melebihi ketiga varietas, tetapi tidak melebihi varietas Tidar. Galur U3 mempunyai jumlah cabang produktif yang lebih besar daripada galur yang lainnya dan lebih besar daripada varietas pembanding, kecuali varietas Tidar. Jumlah percabangan pada tanaman kedelai merupakan sifat agronomik yang menunjang potensi hasil kedelai (Arsyad dan Asadi,1998). Diduga dengan semakin banyaknya jumlah cabang produktif yang terbentuk maka semakin banyak jumlah polong yang dihasilkan, dan jumlah polong yang terbentuk akan menentukan hasil.
Dilihat dari umur berbunga ada perbedaan yang sangat nyata antar galur yang diuji dengan nilai berkisar antara 32-34 hari. Galur U1 mempunyai umur berbunga yang paling pendek dengan nilai 32 hari, sedangkan pada varietas pembanding yang mempunyai umur bunga paling pendek adalah varietas Grobogan dengan 32,67 hari. Terlihat bahwa galur-galur yang diuji mempunyai umur berbunga yang lebih pendek daripada varietas pembandingnya. Umur berbunga yang terlambat dapat menyebabkan pembentukan organ-organ reproduktif terutama pembentukan polong dan pengisian biji menjadi terlambat pula. Menurut Hidajat (1985), lamanya periode pengisian polong tergantung dari sifat genotipe dan lingkungannya.
Umur panen antar galur/varietas yang diuji terdapat perbedaan sangat nyata. Dari tabel 1 terlihat bahwa galur/varietas yang diuji mempunyai umur panen berkisar antara 78 sampai 85 hari. Varietas Tidar mempunyai umur panen yang paling pendek yaitu 78 hari sedangkan galur yang diuji yang mempunyai umur panen pendek adalah galur U1 dan U3 dengan nilai 84 hari. Varietas pembanding yang lainnya yaitu Grobogan, Argomulyo, Burangrang juga mempunai umur panen yang lebih pendek daripada galur yang diuji (rata-rata berkisar 80-82 hari). Umur tanaman yang genjah akan lebih menguntungan bagi petani untuk pergiliran tanaman dengan padi dan juga untuk menghindari kekurangan air bagi tanaman selama pertumbuhannya apabila ditanam di lahan kering. Hal ini sesuai dengan pendapat Ismail dan Effendi (1985) bahwa petani pada umumnya lebih senang menanam kedelai yang berumur pendek karena penggunaan varietas yang berumur pendek akan menurunkan resiko kegagalan bila terjadi kekeringan.
Pada penelitian ini galur yang diuji mempunyai umur berbunga yang lebih cepat jika dibandingkan dengan varietas pembanding, tetapi mempunyai umur panen yang lebih lambat dibanding varietas pembanding. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan periode pengisian polong, galur yang diuji mempunyai periode pengisian polong yang lebih lama dibandingkan varietas pembandingnya. Curah hujan yang cukup tinggi selama penelitian dapat menyebabkan periode pengisian polong semakin lama dan umur panen menjadi bertambah. Cuaca yang sering mendung dan hujan menyebabkan penyinaran relatif singkat serta intensitas cahaya dan suhu yang rendah (Baharsjah et.al., 1985). Menurut Azwir dan Tanjung (1991), tingginya curah hujan pada saat pertumbuhan vegetarif secara fisiologis akan mempengaruhi waktu pembungaan dan pembentukan polong.
Pengamatan pada daun dapat didasarkan pada fungsinya sebagai penerima cahaya dan alat fotosintesis. Luas daun menggambarkan besarnya penyerapan cahaya yang diterima tanaman untuk menjalankan proses fotosintesis pada tanaman. Semakin meningkat fotosintesis dalam tanaman akan meningkatkan fotosintat yang ditranslokasikan ke bagian reproduktif tanaman tersebut (Sitompul dan Guritno, 1995). Pada penelitian ini luas daun galur/varietas yang diuji menunjukkan perbedaan yang sangat nyata. Galur-galur yang diuji mempunyai luas daun antara 40,20 cm2 sampai 43,77 cm2, sedangkan galur pembandingnya mempunyai luas daun antara 33,07 cm2 sampai 43,56 cm2. Galur U5 mempunyai luas daun yang paling besar diantara galur-galur yang lainnya dan juga varietas pembandingnya.
2. Karakter Hasil
Jumlah polong total per tanaman antar galur/varietas yang diuji juga menunjukkan perbedaan yang sangat nyata. Jumlah polong total rata-rata per tanaman pada galur yang diuji berkisar 42,83 sampai 51,27, sedangkan jumlah polong total rata-rata pada varietas yaitu 28,13 sampai 106,9. Galur U3 mempunyai jumlah polong total yang paling tinggi dibanding galur-galur yang lainnya yaitu 51,27 buah, dan varietas Tidar mempunyai jumlah polong total yang paling tinggi diantara galur dan varietas sebesar 106,9 buah.
Jumlah polong isi per tanaman antar galur/varietas yang diuji menunjukkan perbedaan yang sangat nyata. Jumlah polong isi rata-rata per tanaman pada galur yang diuji berkisar 39,47 sampai 49,53, sedangkan jumlah polong isi rata-rata pada varietas yaitu 27,07 sampai 104,27. Galur U3 mempunyai jumlah polong isi yang paling tinggi dibanding galur-galur yang lainnya yaitu 49,53 buah, dan varietas Tidar mempunyai jumlah polong isi yang paling tinggi diantara galur dan varietas sebesar 104,27 buah.
Hasil tanaman yang tinggi ditunjang oleh sifat komponen hasil yang tinggi pula seperti polong yang lebat (Arsyad dan Asadi,1998). Banyaknya polong yang terbentuk diduga dapat dipakai untuk memperkirakan galur yang berproduksi tinggi, walaupun hal ini tidak selalu tepat karena produksi tidak hanya ditentukan oleh banyaknya polong tetapi juga oleh jumlah biji dan bobot biji. Menurut Somaatmadja (1985), menyatakan bahwa hasil per tanaman dibentuk oleh jumlah polong, jumlah biji, dan bobot biji per tanaman.
Menurut Hidajat (1985), hasil kedelai ditentukan oleh ukuran, jumlah, dan bobot biji. Berdasarkan analisis jumlah biji per tanaman antar galur/varietas yang diuji menunjukkan perbedaan yang sangat nyata. Jumlah biji per tanaman pada galur yang diuji berkisar antara 75,13 sampai 97,23 dan pada varietas berkisar antara 54,77 sampai 229,93. galur U3 mempunyai jumlah biji per tanaman yang paling tinggi dengan jumlah 97,23.
Bobot biji per tanaman antar galur/varietas yang diuji tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Bobot biji per tanaman pada galur yang diuji berkisar antara 9,82 gr sampai 15,62 gr dan galur U3 mempunyai bobot yang paling tinggi dibanding galur yang lainnya. Sedangkan bobot biji per tanaman pada varietas pembandingnya berkisar antara 8,25 gr sampai 13,72 gr. Bobot biji per tanaman galur-galur yang diuji cenderung melebihi bobot varietas pembandingnya, kecuali pada galur U1 yang mempunyai bobot paling rendah.
Dilihat dari bobot brangkasan kering, antar galur yang diuji menunjukkan perbedaan yang sangat nyata dengan nilai berkisar antara 12,01 gr sampai 12,84 gr, kecuali pada galur U1 yang hanya mempunyai bobot brangkasan kering hanya 8,94 gr. Bobot brangkasan kering galur yang diuji kecuali U1 terlihat menunjukkan nilai yang lebih besar daripada keempat varietas pembandingnya (nilai berkisar antara 7,39 gr sampai 11,84 gr). Menurut Sumarno (1985), dibandingkan dengan tinggi tanaman, jumlah polong per tanaman, buku subur per tanaman, kerebahan, dan bobot 100 biji, maka bobot brangkasan kering mempunyai korelasi terbesar terhadap hasil biji kering kedelai. Pada penelitian ini bobot brangkasan kering dari galur-galur yang diuji tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, kecuali pada galur U1. Hal ini memberikan indikasi bahwa galur-galur tersebut mempunyai potensi yang sama dan lebih baik daripada varietas pembandingnya.
Terdapat perbedaan yang nyata antar galur/varietas yang diuji, dilihat dari bobot biji per petak efektif, dengan nilai berkisar antara 2150 g sampai 3625 g dan galur U3 mempunyai bobot biji per petak efektif paling tinggi diantara galur-galur yang diuji dengan bobot 3625 g, sedangkan varietas Grobogan merupakan varietas dengan bobot biji paling tinggi diantara varietas pembandingnya dengan 2800 g. Galur U5 mempunyai bobot biji per petak efektif yang cenderung paling rendah diantara galur-galur yang lainnya.
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Ada perbedaan yang sangat nyata antar galur/varietas yang diuji pada semua variabel yang diamati kecuali bobot biji per tanaman menunjukkan hasil tidak nyata dan bobot biji per petak menunjukkan hasil yang nyata.
2. Galur-galur yang diuji mempunyai umur berbunga dan umur panen yang lebih panjang daripada varietas pembandingnya.
3. Galur U1 mempunyai umur berbunga dan umur panen yang lebih pendek daripada galur yang lainnya, tetapi mempunyai hasil yang cenderung lebih rendah dari galur-galur yang lainnya.
4. Galur U3 mempunyai hasil yang cenderung lebih tinggi daripada galur yang lainnya dan juga varietas pembandingnya.
B. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dari galur U3 sebagai galur yang memiliki pertumbuhan dan hasil yang cukup tinggi untuk dijadikan calon varietas baru.
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto, T. 2005. Kedelai. Penebar Swadaya, Jakarta.
Adisarwanto dan Rini W. 2002. Meningkatkan Hasil Panen Kedelai(di Lahan Sawah-Kering-Pasang Surut. Penebar Swadaya, Jakarta. Hal 35.
Andrianto, T.T., Indarto N. 2004. Kedelai, Kacang Hijau, Kacang Panjang, Budidaya dan Analisis Usaha Tani. Absolut, Yogyakarta.
Anekaplantasia. 2008. Aspek Produksi Budidaya Kedelai http://anekaplanta.wordpress.com/2008/01/23/aspek-produksi-budidaya-kedelai/ diakses tanggal 17 April 2009.
Arsyad, D.M. dan Asadi. 1998. Pemanfaatan Plasma Nutfah Kedelai Umtuk Program Pemuliaan. Makalah. Komisi Nasional Plasma Nutfah, Departeman Pertanian. Hal 56-61.
Azwir dan A. Tanjung. 1991. Penampilan Sifat Agronomis, Hasil, dan Komponen Hasil Beberapa Galur Kedelai di Lahan Kering Masam. Jurnal Litbang Pertanian. Vol. 22(20):60-67.
Baharsjah, J.S., D. Suardi, dan I. Las. 1985. hubungan Iklim dengan Pertumbuhan Kedelai. Hal 87-102. Dalam : Sadikin Somaatmadja, M. Ismunadji dkk (Eds). Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Basisdata Statistik Pertanian. 2008. Produksi Tanaman Pangan Kedelai Nasional Tahun 2000-2009. (On-line). http://www.deptan.go.id. Diakses tanggal 28 April 2009.
Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan. 2007. Penanganan pasca panen kedelai. http://agribisnis.web.id/web/pustaka/teknologi% 20proses/Penanganan%20Pasca%20Panen%20Kedelai.pdf. diakses tanggal 24 April 2009.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2008. Kebutuhan Kedelai Nasional Rata-rata per Tahun. (On-line). http://ditjentan.deptan.go.id/. Diakses tanggal 28 April 2009.
Hidajat, O.O. 1985. Morfologi Tanaman Kedelai. Hal 73-86. Dalam : S. Somaatmaja, M. Ismunadji dkk (Eds). Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Ismail, I.G. dan Effendi. 1985. Pertanaman Kedelai pada Lahan Kering. Hal 103-119. Dalam : S. Somaatmaja, M. Ismunadji dkk (Eds). Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Kartowinoto, S. 1995. Peranan Plasma Nutfah Kedelai dalam Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Hal 1309-1314. Dalam Suhendi, I. Hartana, H. Winarto, R. Palupi, dan S. Mawardi (Eds). Prosiding Simposium Pemuliaan Tanaman III. PERIPI Komisariat Daerah Jawa Timur. Jember.
Pustaka Unpad. 2009. Budidaya Tanaman Kedelai. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/03/budidaya_tanaman_kedelai.pdf diakses pada tanggal 26 September 2009.
Riyanto, D., Mulud Suhardjo dan A.M. Sudihardjo. 2006. Pengkajian Daya Hasil Lanjutan Beberapa Varietas Kedelai pada Tiga Jenis Tanah Berbeda di Provinsi D.I. Yogyakarta. http://ntb.litbang.deptan.go.id/2006/TPH /pengkajian daya.doc. diakses tanggal 17 April 2009.
Rukmana, R., Yuyun Y. 1996. Kedelai, Budidaya dan Pascapanen. Kanisius, Yogyakarta. 92 hal.
Sinar Harapan. 2001. Kedelai Slamet dan Sindoro, Alternatif Saat Krisis Pangan. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0109/01/nus03.html diakses tanggal 17 April 2009.
Sitompul, S.M dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 411 hal.
Somaatmaja, S. 1985. Peningkatan Produksi Kedelai Melalui Perakitan Varietas. Hal 243-261. Dalam : Sadikin Somaatmadja, M. Ismunadji dkk (Eds). Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Sumarno. 1985. Teknik Pemuliaan Kedelai. Hal. 243-261. Dalam : S. Somaatmaja, M. Ismunadji dkk (Eds). Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Wikipedia, 2005. Kedelai. http./id.wikipedia.org/wiki/kedelai. diakses tanggal 1 Mei 2009.
Kedelai merupakan sumber protein penting di Indonesia, kesadaran masyarakat akan pemenuhan gizi yang baik semakin meningkat baik kecukupan protein hewani maupun protein nabati. Protein hewani yang sampai saat ini masih mahal mengakibatkan masyarakat memilih alternatif protein nabati dengan harga yang murah dan terjangkau oleh masyarakat luas (Rukmana dan Yuyun, 1996). Menurut Adisarwanto (2005), sebagai bahan makanan nilai gizi kedelai termasuk tinggi, kedelai mempunyai kandungan protein sebesar 41%, 20% lemak, dan sisanya terdiri dari kabohidrat (14,85%), air (13,75%), dan mineral (5,25%). Biji kedelai mengandung gizi yang tinggi dan bisa diolah dalam berbagai bentuk olahan. Aneka bentuk olahan dari kedelai yang dikenal masyarakat yaitu tahu, tempe, kecap, tauco, oncom hingga peyek kedelai.
Permintaan kedelai untuk konsumsi, pakan ternak dan bahan baku industri dari tahun ketahun terus meningkat. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan perkapita dan kesadaran masyarakat akan gizi makanan. Namun, laju permintaan tersebut ternyata belum dapat diimbangi oleh laju peningkatan produksi kedelai. Menurut Dirjen Tanaman Pangan (2008), kebutuhan kedelai Nasional adalah 2 juta ton lebih per tahun untuk jumlah penduduk 220 juta.
Menurut Basisdata Statistik Pertanian (2008), selama 4 tahun terakhir produksi kedelai nasional mengalami fluktuasi. Pada tahun 2004, hasil produksi kedelai mencapai 723.199 ton dan tahun 2005 mengalami peningkatan sebesar 808.353 ton. Sedangkan pada tahun 2007 terjadi penurunan sebesar 155.230 ton dari 747.611 ton pada tahun 2006 menjadi 592.381 ton. Penurunan produksi tersebut mengharuskan pemerintah mengimpor kedelai untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang terus bertambah.
Ketergantungan kepada sistem impor ini akan riskan bagi ketahanan pangan nasional. Oleh karena itu, produktivitas tanaman kedelai perlu terus dipacu dengan mengembangkan inovasi teknologi pertanian di berbagai komponen, baik dalam hal pengembangan suatu rakitan teknologi yang merupakan gabungan dari penyiapan lahan optimal, pemupukan yang berimbang sesuai dengan spesifik lokasi, pemeliharaan yang intensif, pengendalian hama penyakit, pemilihan varietas unggul yang sesuai dan dapat beradaptasi dengan kondisi agroekologi setempat serta diikuti pula dengan penanganan pasca panen yang tepat (Riyanto, 2006).
Kebutuhan kedelai yang terus meningkat sedangkan produksi kedelai belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat merupakan peluang sekaligus tantangan bagi para petani untuk meningkatkan produksi kedelai di dalam negeri. Ada beberapa hal yang menyebabkan penurunan produksi kedelai di Indonesia, diantaranya semakin sempitnya lahan pertanian yang banyak digunakan untuk kepentingan non pertanian serta tanaman kedelai yang belum banyak dibudidayakan sebagai tanaman utama dan lebih sering sebagai tanaman sampingan dan tanaman sela musim bagi tanaman padi. Varietas kedelai yang telah ada juga belum mampu mencukupi kebutuhan sehingga diperlukan varietas baru yang memiliki daya tumbuh dan produktivitas yang lebih tinggi (Rukmana dan Yuyun, 1996.).
Peluang peningkatan produksi dan produktivitas tanaman kedelai dapat dicapai diantaranya melalui penggunaan benih unggul bermutu dan meningkatkan populasi tanaman. Penggunaan varietas unggul yang mempunyai adaptasi luas terhadap pola tanam dan kondisi setempat merupakan faktor penting. Varietas kedelai mempunyai sifat khusus baik terhadap daerah maupun lingkungan lain (Somaatmaja, 1985).
Menurut Kartowinoto (1995), salah satu cara menaikan produksi adalah dengan penggunaan kedelai varietas unggul disertai perbaikan teknologi bercocok tanam yang sesuai. Hingga saat ini usaha-usaha dan penelitian untuk menemukan varietas unggul dapat ditempuh dengan beberapa cara yaitu: a) introduksi atau mendatangkan varietas/bahan seleksi dari luar negeri, b) mengadakan seleksi galur terhadap populasi yang telah ada seperti varietas lokal atau varietas dalam koleksi dan c) mengadakan program pemuliaan dengan persilangan, mutasi atau teknik mandul jantan.
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memecahkan beberapa masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana hasil galur harapan kedelai dari Fakultas Pertanian UNSOED yang memiliki karakter berbiji besar dan berumur genjah pada lahan di desa Pakuncen Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga.
2. Galur-galur harapan dari Fakultas Pertanian UNSOED mana yang mempunyai umur panen yang lebih genjah dan produksi tinggi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Klasifikasi Tanaman Kedelai
Menurut Hidajat (1985), pada awalnya, kedelai dikenal dengan beberapa nama botani, yaitu Glycine soja dan Soja max. Namun pada tahun 1948 telah disepakati bahwa nama botani yang dapat diterima dalam istilah ilmiah, yaitu Glycine max (L.) Merill. Klasifikasi tanaman kedelai sebagai berikut :
Divisio : Spermatophyta
Classis : Dicotyledoneae
Ordo : Polypetales
Familia : Leguminosaceae
Sub-famili : Papilionoideae
Genus : Glycine
Species : Glycine max (L.) Merill
Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merill) diperkirakan berasal dari jenis liar yang tumbuh banyak di Cina, Manchuria, dan Korea. Pada awalnya tanaman tersebut berjenis tanaman semusim yang merambat dengan daun bertangkai tiga berukuran kecil dan sempit, berbunga ungu, serta berbiji kecil keras bentuk agak bundar dan berwarna hitam atau coklat tua. Tanaman kedelai mulai masuk dan dibudidayakan di Indonesia sejak abad ke tujuh belas dan telah ditanam di berbagi daerah (Hidajat, 1985).
2. Morfologi Tanaman Kedelai
Tanaman kedelai umumnya tumbuh tegak, berbentuk semak, dan merupakan tanaman semusim. Morfologi tanaman kedelai didukung oleh komponen utamanya, yaitu akar, daun, batang, polong, dan biji sehingga pertumbuhannya bisa optimal (Adisarwanto, 2005).
1. Akar
Akar kedelai mulai muncul dari belahan kulit biji yang muncul di sekitar mesofil. Calon akar tersebut kemudian tumbuh dengan cepat ke dalam tanah, sedangkan kotiledon yang terdiri dari dua keping akan terangkat ke permukaan tanah akibat pertumbuhan yang cepat dari hipokotil. Sistem perakaran kedelai terdiri dari dua macam, yaitu akar tunggang dan akar sekunder (serabut) yang tumbuh dari akar tunggang. Selain itu kedelai juga seringkali membentuk akar adventif yang tumbuh dari bagian bawah hipokotil (Pustaka Unpad, 2009).
2. Batang dan cabang
Hipokotil pada proses perkecambahan merupakan bagian batang, mulai dari pangkal akar sampai kotiledon. Hopikotil dan dua keping kotiledon yang masih melekat pada hipokotil akan menerobos ke permukaan tanah. Bagian batang kecambah yang berada diatas kotiledon tersebut dinamakan epikotil. Pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe determinate dan indeterminate. Perbedaan sistem pertumbuhan batang ini didasarkan atas keberadaan bunga pada pucuk batang. Pertumbuhan batang tipe determinate ditunjukkan dengan batang yang tidak tumbuh lagi pada saat tanaman mulai berbunga. Sementara pertumbuhan batang tipe indeterminate dicirikan bila pucuk batang tanaman masih bisa tumbuh daun, walaupun tanaman sudah mulai berbunga. Disamping itu, ada varietas hasil persilangan yang mempunyai tipe batang mirip keduanya sehingga dikategorikan sebagai semi-determinate atau semiindeterminate. Cabang akan muncul di batang tanaman. Jumlah cabang tergantung dari varietas dan kondisi tanah, tetapi ada juga varietas kedelai yang tidak bercabang. Jumlah batang tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan jumlah biji yang diproduksi. Artinya, walaupun jumlah cabang banyak, belum tentu produksi kedelai juga banyak (Adisarwanto, 2005).
3. Daun
Tanaman kedelai mempunyai dua bentuk daun yang dominan, yaitu stadia kotiledon yang tumbuh saat tanaman masih berbentuk kecambah dengan dua helai daun tunggal dan daun bertangkai tiga (trifoliate leaves) yang tumbuh selepas masa pertumbuhan. Umumnya, bentuk daun kedelai ada dua, yaitu bulat (oval) dan lancip (lanceolate). Kedua bentuk daun tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik. Bentuk daun diperkirakan mempunyai korelasi yang sangat erat dengan potensi produksi biji. Umumnya, daerah yang mempunyai tingkat kesuburan tanah tinggi sangat cocok untuk varietas kedelai yang mempunyai bentuk daun lebar (Pustaka Unpad, 2009).
4. Bunga
Bunga kedelai termasuk bunga sempurna, yaitu setiap bunga mempunyai alat perkembangbiakan jantan dan betina. Penyerbukan terjadi ada saat mahkota bunga masih menutup sehingga kemungkinan kawin silang sangat kecil. Bunga terletak pada ruas-ruas batang, berwarna ungu atau putih. Bunga tidak semuanya dapat menjadi polong, walaupun telah terjadi penyerbukan secara sempurna. Umur berbunga tiap tanaman veragam antara 30 sampai 50 hari tergantung varietasnya. Pembungaan dipengaruhi oleh lama penyinaran matahari dan suhu (Sumarno,1984). Setelah pembungaan berhenti pada umumnya pengisian dan pemasakan biji berlanjut 30-40 hari berikutnya, yaitu terakumulasinya bahan kering ke dalam biji (Hidajat, 1985).
5. Polong dan biji
Polong kedelai pertama kali terbentuk sekitar 7-10 hari setelah munculnya bunga pertama. Jumlah polong yang terbentuk pada setiap ketiak tangkai daun sangat beragam, antara 1-10 buah dalam setiap kelompok. Pada setiap tanaman, jumlah polong dapat mencapai lebih dari 50, bahkan ratusan. Di dalam polong terdapat biji yang berjumlah 2-3 biji. Setiap biji kedelai mempunyai ukuran bervariasi, mulai dari kecil (sekitar 7-9 g/100 biji), sedang (10-13 g/100 biji), dan besar (>13 g/100 biji). Bentuk biji bervariasi, tergantung pada varietas tanaman, yaitu bulat, agak gepeng, dan bulat telur. Biji kedelai terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu kulit biji dan janin (embrio). Pada kulit biji terdapat bagian yang disebut pusar (hilum) yang berwarna coklat, hitam, atau putih. Warna kulit biji bervariasi, mulai dari kuning, hijau, coklat, hitam, atau kombinasi campuran dari warna-warna tersebut. Biji kedelai tidak mengalami masa dormansi sehingga setelah proses pembijian selesai, biji kedelai dapat langsung ditanam. Namun demikian, biji tersebut harus mempunyai kadar air berkisar 12-13% (Adisarwanto, 2005).
B. Varietas Unggul Kedelai
Varietas memegang peranan penting dalam perkembangan penanaman kedelai karena untuk mencapai produktivitas yang tinggi sangat ditentukan oleh potensi daya hasil dari varietas unggul yang ditanam. Potensi hasil biji di lapangan masih dipengaruhi oleh interaksi antara faktor genetik varietas dengan pengelolaan kondisi lingkungan tumbuh. Bila pengelolaan lingkungan tumbuh tidak dilakukan dengan baik, potensi daya hasil biji yang tinggi dari varietas unggul tersebut tidak dapat tercapai (Adisarwanto, 2005).
Upaya peningkatan hasil produksi kedelai terus dilakukan oleh pemerintah, salah satunya dengan mengadakan seleksi hasil persilangan galur terhadap populasi yang telah ada seperti varietas lokal, adapun galur-galur yang akan diseleksi dan diuji coba merupakan galur-galur berumur genjah dan berbiji besar. Penggunaan varietas unggul yang mempunyai adaptasi tinggi terhadap pola tanam dan kondisi setempat merupakan faktor penting dalam pemilihan varietas yang akan digunakan untuk pengujian hasil kedelai. Varietas kedelai yang diinginkan pada umumnya adalah varietas-varietas yang berumur genjah (pendek), karena dapat dimanfaatkan untuk mengisi pola tanam yang waktunya hanya sekitar 80 hari. Sedangkan sifat utama yang diinginkan dari suatu varietas unggul kedelai adalah daya hasil yang tinggi, selain memiliki sifat-sifat baik lainnya seperti toleran terhadap cekaman lingkungan non biotik, memiliki sifat agronomik yang baik (batang kokoh, tidak rebah, umur genjah, tipe tumbuh determinat, dan polong tidak mudah pecah), serta mempunyai kualitas biji yang baik (Somaatmaja, 1985).
Menurut Sumarno (1985), untuk mendapatkan varietas unggul kedelai pada dasarnya meliputi empat tahap pekerjaan, yaitu : 1) pembentukan populasi dasar untuk bahan seleksi, 2) pembentukan galur murni dan seleksi, 3) pengujian daya hasil, 4) pemurnian dan penyediaan benih. Untuk pembentukan populasi dasar telah dilakukan persilangan. Persilangan ini bertujuan untuk menggabungkan sifat-sifat baik dari kedua tetuanya. Akan tetapi kelemahan dari persilangan tersebut adalah tidak semua gen yang baik dapat terkumpul pada galur-galur yang dihasilkan.
Dalam usaha untuk mendapatkan varietas yang berdaya hasil tinggi, Fakultas Pertanian Universitas Jendral Soedirman telah berhasil menyilangkan varietas unggul yang ada untuk menggabungkan sifat-sifat baik yang dikehendaki. Salah satu di antaranya adalah persilangan antara kedelai varietas sindoro dan kedelai varietas lokon. Varietas Sindoro dirakit pemulia tanaman Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto dan memiliki berbagai kelebihan. Varietas Sindoro yang dilepas tersebut dirakit secara khusus untuk mengatasi kendala tanah masam. Jadi varietas ini sangat cocok untuk daerah di luar Pulau Jawa yang pH-nya rendah dengan kandungan Al tinggi yakni tanah podsolik merah kuning (Sinar Harapan, 2001). Varietas Sindoro dilepas tahun 1995, mempunyai potensi hasil sekitar 2,1 ton per hektar, umur berbunga 36 hari, umur masak 86 hari, dan bobot 100 biji 12 gr serta toleran penyakit karat daun dan tahan rebah. Sedangkan varietas Lokon dilepas tahun 1982, mempunyai potensi hasil sekitar 1,5-2,0 ton per hektar, umur berbunga ± 32 hari, umur masak 75 hari, dan bobot 100 biji 10-11 gr serta tahan penyakit/virus dan agak tahan karat (Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan, 2007).
Penelitian ini bertujuan : (1) Mengetahui hasil dari galur harapan kedelai dari Fakultas Pertanian UNSOED yang memiliki karakter berbiji besar dan berumur genjah dan (2) Mengetahui galur-galur harapan dari Fakultas Pertanian UNSOED mana yang mempunyai umur panen yang lebih genjah. Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah : (1) Memberikan data dan informasi tentang beberapa galur kedelai dari Fakultas Pertanian UNSOED yang memiliki daya hasil tinggi dan umur panen lebih genjah serta (2) Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk melaksanakan penelitian yang serupa atau yang dikembangkan dan memberikan informasi bagi yang membutuhkan. Hipotesis yang dapat diajukan pada penelitian ini adalah galur-galur yang diuji yang berasal dari Fakultas Pertanian UNSOED memiliki daya tumbuh dan hasil yang baik dibanding varietas pembanding dan terdapat satu galur yang memiliki daya hasil paling tinggi dan memiliki umur panen paling genjah.
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di lahan pertanian tanaman kedelai di desa Pakuncen, Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah dengan ketinggian tempat 149 m di atas permukaan laut dan jenis tanah Aluvial. Penelitian dilakukan mulai April sampai dengan 2009.
B. Alat dan Bahan
1. Alat :
Alat yang akan digunakan untuk penelitian adalah timbangan elektrik, oven, tugal, cangkul, pancong, papan nama, mistar, alat tulis.
2. Bahan :
Bahan yang akan digunakan untuk penelitian adalah 5 galur kedelai yang berasal dari Fakultas Pertanian UNSOED yaitu L/S:B6-G1 (U1), L/S:B6-G2 (U2), L/S:B6-G5 (U3), L/S:B6-G6 (U4), L/S:B6-G7 (U5) dan 4 varietas pembanding yaitu varietas Burangrang, Grobogan, Tidar, Argomulyo, pupuk kandang, pupuk NPK, pupuk daun dan beberapa jenis pestisida dan insektisida. Luas lahan yang digunakan sekitar 460 m2.
C. Rancangan percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga kali ulangan. Pelakuan yang dicoba adalah 9 perlakuan (5 galur yang diuji dan 4 varietas pembanding). Ukuran petak yang digunakan 4,1 m x 3,5 m, jarak tanam 30 cm x 15 cm, jarak antar petakan 40 cm, jarak antar blok 50 cm. Dalam setiap petak terdapat 297 lubang tanam dengan 2 benih per lubang tanam sehingga kira-kira terdapat 594 tanaman dengan galur sejenis, sehingga jumlah seluruh tanaman (594 x 9 x 3) sebanyak 15.948 tanaman.
D. Variabel yang Diamati
1. Komponen Pertumbuhan
a. Tinggi tanaman (cm)
Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah sampai ke ujung batang utama. Pengukuran dilakukan dua minggu sekali sampai tinggi tanaman mencapai kondisi maksimum yaitu pada fase pengisian polong.
b. Jumlah cabang produktif per tanaman (buah)
Jumlah cabang produktif dihitung sampai pada pertumbuhan cabang terakhir yang menghasilkan polong. Jumlah cabang produktif per tanaman dihitung pada saat panen.
c. Luas daun (cm2)
Luas daun diukur mulai pada fase vegetative maksimal atau fase berbunga dengan metode panjang kali lebar (daun diambil dari sampel) dan dilakukan 1 minggu sekali. Daun diukur panjang dan lebarnya yaitu pada daun trifoliat ke-3, 4 dan ke-6 pada daun yang tengah. Menurut Sitompul (1995), pendugaan luas daun trifoliat pada tanaman kedelai dilakukan dengan menggunakan persamaan :
L = p x l x k
Dengan ketentuan : L = luas daun (cm2)
p = panjang daun (cm)
l = lebar daun (cm)
k = konstanta (0,74)
d. Umur berbunga (hst)
Umur berbunga dihitung sejak mulai penanaman hingga tanaman berbunga 90 persen.
e. Umur panen (hst)
Umur panen diamati pada saat 80% polong pada populasi tanaman per unit percobaan telah mencapai fase masak fisiologis, yang ditandai dengan perubahan warna polong menjadi kecokelatan, batang tanaman tidak berwarna hijau lagi dan beberapa daun telah kering atau rontok.
2. Komponen Hasil
a. Jumlah polong (buah)
Jumlah polong dihitung setelah tanaman dipanen berdasarkan semua polong yang ada pada tanaman.
b. Jumlah polong isi (buah)
Jumlah polong isi dihitung berdasarkan semua polong yang berisi pada tanaman.
c.Jumlah biji per tanaman
dihitung berdasarkan jumlah semua biji yang ada pada tanaman.
d. Bobot biji per tanaman (g)
Bobot biji per tanaman diperoleh dengan menimbang total biji yang dihasilkan per tanaman setelah biji dikeringkan.
e. Bobot 100 biji (g)
Bobot 100 biji diamati setelah panen dengan cara menimbang 100 biji (dipilih biji yang bernas) yang sudah dikeringkan.
f. Bobot brangkasan kering (g)
Bobot brangkasan kering diamati setelah panen dengan menimbang brangkasan per tanaman setelah dikeringkan dalam oven hingga kadar airnya mencapai kering oven (dioven selama sekitar 2 hari).
g. Bobot biji per petak efektif (g)
Bobot biji per petak efektif adalah bobot total biji dalam setiap petak efektif, dan penimbangan dilakukan setelah biji dikering-anginkan.
E. Analisis Data
Data dianalisis dengan menggunakan dengan diuji F untuk mengetahui keragamannya, dan apabila hasil uji F menunjukkan adanya perbedaan, dilanjutkan dengan uji beda rata-rata Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kesalahan 5%.
F. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
1. Persiapan
Tahap persiapan meliputi persiapan lahan dan benih. Lahan yang akan digunakan merupakan lahan bekas tanaman jagung dan diolah terlebih dahulu sebelum ditanami kedelai, kemudian dibuat saluran drainase dan petak-petak percobaan sebanyak 27 petak dengan ukuran masing-masing petak 4,1 m x 3,5 m, jarak antar petakan 40 cm, jarak antar blok 50 cm dengan luas lahan sekitar 460 m2.
2. Pemberian Pupuk Dasar
Pemberian pupuk dasar dilakukan seminggu sebelum penanaman. Pupuk dasar yang digunakan adalah pupuk kandang yang diberikan pada petakan dengan cara dimasukkan ke dalam lubang tanam, lalu dicampur secara merata dengan tanah. Selain itu pupuk dasar juga dicampur dengan tanah sedalam lapisan olah pada tiap alur atau barisan yang akan ditanami benih sebelum pengolahan tanah. Dosis pemberian pupuk dasar yaitu sekitar 5 ton/ha. Jadi kebutuhan pupuk kandang per petak adalah :
x 5 ton = 7,175 kg
3. Penanaman
Kegiatan penanaman dilakukan dengan cara ditugal, dan benih kedelai langsung ditanam pada lubang, setiap lubang tanaman diberi dua benih dengan jarak tanam 30 cm x 15 cm.
4. Penyulaman
Kegiatan penyulaman dilakukan jika tanaman tidak tumbuh atau mati, penyulaman dilakukan satu minggu setelah tanam dan waktu penyulaman dilakukan sampai dengan satu minggu agar pertumbuhan tanaman dapat merata.
5. Pemupukan
Kegiatan pemupukan dilakukan dengan diberikan pada larikan menurut baris tanaman selama 1 kali pada saat tanaman berumur 2 minggu. Dosis anjuran pemberian pupuk pada tanaman kedelai menurut Adisarwanto dan Rini W (2002) adalah sebesar 50-100 kg Urea, 50-100 kg SP36 dan 50-75 kg KCl dan pupuk yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pupuk Phonska yang mempunyai kandungan NPK lengkap (perbandingan N:P:K yaitu 15:15:15) dengan dosis 300 kg per ha, jadi kebutuhan pupuk per petak adalah sebagai berikut :
Pupuk =x 300 kg = 0,43 kg = 430 gr (1,44 gr per lubang tanam)
6. Pemeliharaan Tanaman
Kegiatan pemeliharaan tanaman kedelai dilakukan agar mendapatkan hasil produksi yang memuaskan. Pemeliharaan tanaman kedelai meliputi penyiangan yang dilakukan 2 kali pada saat tanaman berumur 2 dan 4 minggu setelah tanam, pengendalian hama dan penyakit, pemupukan lanjutan dan pengairan.
7. Kegiatan panen
Pemanenan kedelai harus dilakukan pada saat umur masak optimal (masak fisiologis) agar diperoleh mutu hasil dan produksi yang tinggi. Umur masak optimal sangat beragam sesuai dengan varietasnya. Pada umumnya varietas unggul dikembangkan saat umur masak optimal 80-90 hari. Masa panen selain atas dasar umur optimal juga dapat melalui tanda-tanda visual polong dan tanaman. Panen dilakukan bila tanaman sudah matang dimana 90% polong telah matang, berwarna kecoklatan, daun telah rontok, kulit polong mudah dikupas, kadar air dibawah 25% dan batang sudah kering.
8. Pengamatan
Pengamatan dilakukan sejak benih ditanam sampai panen berdasarkan variabel yang diamati. Pengamatan variabel pertumbuhan dilakukan mulai 2 minggu setelah tanam sampai panen setiap 2 minggu sekali ditambah saat tanaman berumur 35 hari setelah tanam. Variabel hasil diamati setelah panen.
G. Jadwal Pelaksanaan
Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan untuk percobaan lapang dan 2 bulan untuk studi pustaka dan penulisan laporan
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Umum Wilayah Penelitian
Penelitian dilaksanakan di lahan pertanian tanaman kedelai di desa Pakuncen, Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah dengan ketinggian tempat 149 m di atas permukaan laut dan jenis tanah adalah tanah aluvial. Penelitian dilakukan mulai bulan April 2009 sampai dengan bulan Juni 2009. Benih kedelai yang digunakan berasal dari Fakultas Pertanian UNSOED yang merupakan benih hasil persilangan kedelai varietas Sindoro dan Lokon dengan karakteristik berbiji besar dan mempunyai umur panen yang genjah dan sedang (79-83 HST).
Benih kedelai ditanam pada awal bulan April 2009 dan mulai berkecambah pada hari kelima. Sebelum benih kedelai ditanam, terlebih dahulu dilakukan pengolahan tanah. Pengolahan tanah dilakukan oleh beberapa orang petani dan tanah yang sudah diolah dibagi menjadi 27 petak yang masing-masing petak berukuran 4,1 m X 3,5 m. Pada hari keempat belas atau umur dua minggu setelah tanam tinggi tanaman sudah mencapai rata-rata 11,6 cm dan sudah memiliki 1-2 lembar daun trifoliate. Penyulaman dilakukan pada minggu pertama karena banyak benih yang tidak tumbuh pada galur/varietas tertentu, terutama pada galur U1 banyak yang tidak tumbuh (persentase perkecambahan benih kecil). Penyiangan dilakukan saat tanaman kedelai berumur dua minggu sampai tanaman mulai berbunga. Penyiangan dilakukan karena gulma mulai tumbuh dan menutupi area pertanaman. Gulma yang banyak tumbuh di areal pertanaman adalah rumput teki ( Cyperus rotundus ). Tanaman mulai berbunga pada umur 32 sampai 35 hari setelah tanam.
Tanaman kedelai pada penelitian ini ditanam pada akhir musim hujan dengan curah hujan yang cukup tinggi dari awal pertumbuhan tanaman sampai tanaman memasuki masa panen. Curah hujan yang tinggi menyebabkan banyak tanaman kedelai yang rebah ke tanah terutama saat hujan dusertai angin yang kencang. Curah hujan yang tinggi juga menyebabkan kelembaban udara menjadi tinggi sehingga kondusif bagi penyakit tanaman kedelai. Penyakit yang paling banyak menyerang tanaman kedelai adalah penyakit karat daun dengan gejala pada daun tampak bercak dan bintik coklat yang dibawa patogen cendawan Phachyrizi phakospora. Selain itu beberapa tanaman juga terserang penyakit kerdil dengan gejala daun berkeriput, pada daun muda tampak keriting dan kasar. Penyakit ini disebabkan oleh virus, yaitu Virus Soybean Dwarf (VSD). Hama yang paling banyak terlihat menyerang tanaman kedelai adalah hama ulat daun atau ulat jengkal dan kepik hijau. Ulat daun atau ulat jengkal menyerang bagian daun sehingga daun menjadi berlubang-lubang dan rusak tidak beraturan, sedangkan hama kepik hijau menyerang polong dan biji menyebabkan polong atau biji menjadi keriput dan berbintik-bintik. Pengendalian hama dengan menggunakan insektisida Sidametrin dan Catleya.
B. Pertumbuhan dan Hasil Galur/Varietas
Hasil analisis beberapa sifat agronomik galur/varietas selama penelitian disajikan pada tabel 1. Terdapat perbedaan yang sangat nyata antar galur-galur/varietas yang diuji bila dilihat pada variabel tinggi tanaman, jumlah cabang produktif, umur berbunga, umur panen, jumlah polong total, jumlah polong isi, julah biji per tanaman, bobot 100 biji, dan bobot brangksan kering, sedangkan pada variabel bobot biji per tanaman tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
Berdasarkan uji statistik, tinggi tanaman antar galur yang diuji terdapat perbedaan sangat nyata. Dari tabel 1 terlihat bahwa galur-galur yang diuji mempunyai tinggi tanaman berkisar antara 63,63 cm sampai 78,38 cm, sedangkan varietas pembandingnya mempunyai tinggi tanaman antara 48,05 sampai 79,14. Di antara 5 galur yang diuji tinggi tanamannya cenderung melebihi varietas pembandingnya, tetapi masih lebih rendah dibandingkan dengan varietas Burangrang.
Menurut Somaatmadja (1985), tinggi tanaman 75 cm untuk tanaman kedelai sudah cukup, karena panjang ruas umumnya terletak antara 3 cm sampai 5 cm. Oleh karena itu semakin tinggi tanaman diharapkan semakin banyak buku subur yang terbentuk sehingga jumlah polong dan biji yang terbentuk juga semakin banyak. Sifat tinggi tanaman dapat digunakan sebagai salah satu komponen pertumbuhan tanaman untuk memilih galur-galur yang berdaya hasil tinggi. Pada penelitian ini galur yang mempunyai tinggi tanaman paling tinggi diikuti hasil yang tinggi pula.
Jumlah cabang produktif antar galur yang diuji menunjukkan perbedaan yang sangat nyata, mempunyai nilai berkisar 2,2 sampai 3,77 buah, sedangkan pada varietas nilainya antara 1,43 buah pada varietas Grobogan sampai 4,67 buah pada varietas Tidar. Jumlah cabang produktif galur yang diuji dapat melebihi ketiga varietas, tetapi tidak melebihi varietas Tidar. Galur U3 mempunyai jumlah cabang produktif yang lebih besar daripada galur yang lainnya dan lebih besar daripada varietas pembanding, kecuali varietas Tidar. Jumlah percabangan pada tanaman kedelai merupakan sifat agronomik yang menunjang potensi hasil kedelai (Arsyad dan Asadi,1998). Diduga dengan semakin banyaknya jumlah cabang produktif yang terbentuk maka semakin banyak jumlah polong yang dihasilkan, dan jumlah polong yang terbentuk akan menentukan hasil.
Dilihat dari umur berbunga ada perbedaan yang sangat nyata antar galur yang diuji dengan nilai berkisar antara 32-34 hari. Galur U1 mempunyai umur berbunga yang paling pendek dengan nilai 32 hari, sedangkan pada varietas pembanding yang mempunyai umur bunga paling pendek adalah varietas Grobogan dengan 32,67 hari. Terlihat bahwa galur-galur yang diuji mempunyai umur berbunga yang lebih pendek daripada varietas pembandingnya. Umur berbunga yang terlambat dapat menyebabkan pembentukan organ-organ reproduktif terutama pembentukan polong dan pengisian biji menjadi terlambat pula. Menurut Hidajat (1985), lamanya periode pengisian polong tergantung dari sifat genotipe dan lingkungannya.
Umur panen antar galur/varietas yang diuji terdapat perbedaan sangat nyata. Dari tabel 1 terlihat bahwa galur/varietas yang diuji mempunyai umur panen berkisar antara 78 sampai 85 hari. Varietas Tidar mempunyai umur panen yang paling pendek yaitu 78 hari sedangkan galur yang diuji yang mempunyai umur panen pendek adalah galur U1 dan U3 dengan nilai 84 hari. Varietas pembanding yang lainnya yaitu Grobogan, Argomulyo, Burangrang juga mempunai umur panen yang lebih pendek daripada galur yang diuji (rata-rata berkisar 80-82 hari). Umur tanaman yang genjah akan lebih menguntungan bagi petani untuk pergiliran tanaman dengan padi dan juga untuk menghindari kekurangan air bagi tanaman selama pertumbuhannya apabila ditanam di lahan kering. Hal ini sesuai dengan pendapat Ismail dan Effendi (1985) bahwa petani pada umumnya lebih senang menanam kedelai yang berumur pendek karena penggunaan varietas yang berumur pendek akan menurunkan resiko kegagalan bila terjadi kekeringan.
Pada penelitian ini galur yang diuji mempunyai umur berbunga yang lebih cepat jika dibandingkan dengan varietas pembanding, tetapi mempunyai umur panen yang lebih lambat dibanding varietas pembanding. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan periode pengisian polong, galur yang diuji mempunyai periode pengisian polong yang lebih lama dibandingkan varietas pembandingnya. Curah hujan yang cukup tinggi selama penelitian dapat menyebabkan periode pengisian polong semakin lama dan umur panen menjadi bertambah. Cuaca yang sering mendung dan hujan menyebabkan penyinaran relatif singkat serta intensitas cahaya dan suhu yang rendah (Baharsjah et.al., 1985). Menurut Azwir dan Tanjung (1991), tingginya curah hujan pada saat pertumbuhan vegetarif secara fisiologis akan mempengaruhi waktu pembungaan dan pembentukan polong.
Pengamatan pada daun dapat didasarkan pada fungsinya sebagai penerima cahaya dan alat fotosintesis. Luas daun menggambarkan besarnya penyerapan cahaya yang diterima tanaman untuk menjalankan proses fotosintesis pada tanaman. Semakin meningkat fotosintesis dalam tanaman akan meningkatkan fotosintat yang ditranslokasikan ke bagian reproduktif tanaman tersebut (Sitompul dan Guritno, 1995). Pada penelitian ini luas daun galur/varietas yang diuji menunjukkan perbedaan yang sangat nyata. Galur-galur yang diuji mempunyai luas daun antara 40,20 cm2 sampai 43,77 cm2, sedangkan galur pembandingnya mempunyai luas daun antara 33,07 cm2 sampai 43,56 cm2. Galur U5 mempunyai luas daun yang paling besar diantara galur-galur yang lainnya dan juga varietas pembandingnya.
2. Karakter Hasil
Jumlah polong total per tanaman antar galur/varietas yang diuji juga menunjukkan perbedaan yang sangat nyata. Jumlah polong total rata-rata per tanaman pada galur yang diuji berkisar 42,83 sampai 51,27, sedangkan jumlah polong total rata-rata pada varietas yaitu 28,13 sampai 106,9. Galur U3 mempunyai jumlah polong total yang paling tinggi dibanding galur-galur yang lainnya yaitu 51,27 buah, dan varietas Tidar mempunyai jumlah polong total yang paling tinggi diantara galur dan varietas sebesar 106,9 buah.
Jumlah polong isi per tanaman antar galur/varietas yang diuji menunjukkan perbedaan yang sangat nyata. Jumlah polong isi rata-rata per tanaman pada galur yang diuji berkisar 39,47 sampai 49,53, sedangkan jumlah polong isi rata-rata pada varietas yaitu 27,07 sampai 104,27. Galur U3 mempunyai jumlah polong isi yang paling tinggi dibanding galur-galur yang lainnya yaitu 49,53 buah, dan varietas Tidar mempunyai jumlah polong isi yang paling tinggi diantara galur dan varietas sebesar 104,27 buah.
Hasil tanaman yang tinggi ditunjang oleh sifat komponen hasil yang tinggi pula seperti polong yang lebat (Arsyad dan Asadi,1998). Banyaknya polong yang terbentuk diduga dapat dipakai untuk memperkirakan galur yang berproduksi tinggi, walaupun hal ini tidak selalu tepat karena produksi tidak hanya ditentukan oleh banyaknya polong tetapi juga oleh jumlah biji dan bobot biji. Menurut Somaatmadja (1985), menyatakan bahwa hasil per tanaman dibentuk oleh jumlah polong, jumlah biji, dan bobot biji per tanaman.
Menurut Hidajat (1985), hasil kedelai ditentukan oleh ukuran, jumlah, dan bobot biji. Berdasarkan analisis jumlah biji per tanaman antar galur/varietas yang diuji menunjukkan perbedaan yang sangat nyata. Jumlah biji per tanaman pada galur yang diuji berkisar antara 75,13 sampai 97,23 dan pada varietas berkisar antara 54,77 sampai 229,93. galur U3 mempunyai jumlah biji per tanaman yang paling tinggi dengan jumlah 97,23.
Bobot biji per tanaman antar galur/varietas yang diuji tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Bobot biji per tanaman pada galur yang diuji berkisar antara 9,82 gr sampai 15,62 gr dan galur U3 mempunyai bobot yang paling tinggi dibanding galur yang lainnya. Sedangkan bobot biji per tanaman pada varietas pembandingnya berkisar antara 8,25 gr sampai 13,72 gr. Bobot biji per tanaman galur-galur yang diuji cenderung melebihi bobot varietas pembandingnya, kecuali pada galur U1 yang mempunyai bobot paling rendah.
Dilihat dari bobot brangkasan kering, antar galur yang diuji menunjukkan perbedaan yang sangat nyata dengan nilai berkisar antara 12,01 gr sampai 12,84 gr, kecuali pada galur U1 yang hanya mempunyai bobot brangkasan kering hanya 8,94 gr. Bobot brangkasan kering galur yang diuji kecuali U1 terlihat menunjukkan nilai yang lebih besar daripada keempat varietas pembandingnya (nilai berkisar antara 7,39 gr sampai 11,84 gr). Menurut Sumarno (1985), dibandingkan dengan tinggi tanaman, jumlah polong per tanaman, buku subur per tanaman, kerebahan, dan bobot 100 biji, maka bobot brangkasan kering mempunyai korelasi terbesar terhadap hasil biji kering kedelai. Pada penelitian ini bobot brangkasan kering dari galur-galur yang diuji tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, kecuali pada galur U1. Hal ini memberikan indikasi bahwa galur-galur tersebut mempunyai potensi yang sama dan lebih baik daripada varietas pembandingnya.
Terdapat perbedaan yang nyata antar galur/varietas yang diuji, dilihat dari bobot biji per petak efektif, dengan nilai berkisar antara 2150 g sampai 3625 g dan galur U3 mempunyai bobot biji per petak efektif paling tinggi diantara galur-galur yang diuji dengan bobot 3625 g, sedangkan varietas Grobogan merupakan varietas dengan bobot biji paling tinggi diantara varietas pembandingnya dengan 2800 g. Galur U5 mempunyai bobot biji per petak efektif yang cenderung paling rendah diantara galur-galur yang lainnya.
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Ada perbedaan yang sangat nyata antar galur/varietas yang diuji pada semua variabel yang diamati kecuali bobot biji per tanaman menunjukkan hasil tidak nyata dan bobot biji per petak menunjukkan hasil yang nyata.
2. Galur-galur yang diuji mempunyai umur berbunga dan umur panen yang lebih panjang daripada varietas pembandingnya.
3. Galur U1 mempunyai umur berbunga dan umur panen yang lebih pendek daripada galur yang lainnya, tetapi mempunyai hasil yang cenderung lebih rendah dari galur-galur yang lainnya.
4. Galur U3 mempunyai hasil yang cenderung lebih tinggi daripada galur yang lainnya dan juga varietas pembandingnya.
B. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dari galur U3 sebagai galur yang memiliki pertumbuhan dan hasil yang cukup tinggi untuk dijadikan calon varietas baru.
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto, T. 2005. Kedelai. Penebar Swadaya, Jakarta.
Adisarwanto dan Rini W. 2002. Meningkatkan Hasil Panen Kedelai(di Lahan Sawah-Kering-Pasang Surut. Penebar Swadaya, Jakarta. Hal 35.
Andrianto, T.T., Indarto N. 2004. Kedelai, Kacang Hijau, Kacang Panjang, Budidaya dan Analisis Usaha Tani. Absolut, Yogyakarta.
Anekaplantasia. 2008. Aspek Produksi Budidaya Kedelai http://anekaplanta.wordpress.com/2008/01/23/aspek-produksi-budidaya-kedelai/ diakses tanggal 17 April 2009.
Arsyad, D.M. dan Asadi. 1998. Pemanfaatan Plasma Nutfah Kedelai Umtuk Program Pemuliaan. Makalah. Komisi Nasional Plasma Nutfah, Departeman Pertanian. Hal 56-61.
Azwir dan A. Tanjung. 1991. Penampilan Sifat Agronomis, Hasil, dan Komponen Hasil Beberapa Galur Kedelai di Lahan Kering Masam. Jurnal Litbang Pertanian. Vol. 22(20):60-67.
Baharsjah, J.S., D. Suardi, dan I. Las. 1985. hubungan Iklim dengan Pertumbuhan Kedelai. Hal 87-102. Dalam : Sadikin Somaatmadja, M. Ismunadji dkk (Eds). Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Basisdata Statistik Pertanian. 2008. Produksi Tanaman Pangan Kedelai Nasional Tahun 2000-2009. (On-line). http://www.deptan.go.id. Diakses tanggal 28 April 2009.
Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan. 2007. Penanganan pasca panen kedelai. http://agribisnis.web.id/web/pustaka/teknologi% 20proses/Penanganan%20Pasca%20Panen%20Kedelai.pdf. diakses tanggal 24 April 2009.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2008. Kebutuhan Kedelai Nasional Rata-rata per Tahun. (On-line). http://ditjentan.deptan.go.id/. Diakses tanggal 28 April 2009.
Hidajat, O.O. 1985. Morfologi Tanaman Kedelai. Hal 73-86. Dalam : S. Somaatmaja, M. Ismunadji dkk (Eds). Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Ismail, I.G. dan Effendi. 1985. Pertanaman Kedelai pada Lahan Kering. Hal 103-119. Dalam : S. Somaatmaja, M. Ismunadji dkk (Eds). Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Kartowinoto, S. 1995. Peranan Plasma Nutfah Kedelai dalam Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Hal 1309-1314. Dalam Suhendi, I. Hartana, H. Winarto, R. Palupi, dan S. Mawardi (Eds). Prosiding Simposium Pemuliaan Tanaman III. PERIPI Komisariat Daerah Jawa Timur. Jember.
Pustaka Unpad. 2009. Budidaya Tanaman Kedelai. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/03/budidaya_tanaman_kedelai.pdf diakses pada tanggal 26 September 2009.
Riyanto, D., Mulud Suhardjo dan A.M. Sudihardjo. 2006. Pengkajian Daya Hasil Lanjutan Beberapa Varietas Kedelai pada Tiga Jenis Tanah Berbeda di Provinsi D.I. Yogyakarta. http://ntb.litbang.deptan.go.id/2006/TPH /pengkajian daya.doc. diakses tanggal 17 April 2009.
Rukmana, R., Yuyun Y. 1996. Kedelai, Budidaya dan Pascapanen. Kanisius, Yogyakarta. 92 hal.
Sinar Harapan. 2001. Kedelai Slamet dan Sindoro, Alternatif Saat Krisis Pangan. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0109/01/nus03.html diakses tanggal 17 April 2009.
Sitompul, S.M dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 411 hal.
Somaatmaja, S. 1985. Peningkatan Produksi Kedelai Melalui Perakitan Varietas. Hal 243-261. Dalam : Sadikin Somaatmadja, M. Ismunadji dkk (Eds). Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Sumarno. 1985. Teknik Pemuliaan Kedelai. Hal. 243-261. Dalam : S. Somaatmaja, M. Ismunadji dkk (Eds). Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Wikipedia, 2005. Kedelai. http./id.wikipedia.org/wiki/kedelai. diakses tanggal 1 Mei 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar